Tentang Hujan

Lila arini
Chapter #8

Bintang

Andy merapatkan resleting kantong tidur. Mereka masih terbaring di matras di depan tenda, memandangi langit. Meski tidak sejelas langit musim panas. Bintang-bintang di langit musim dingin, tak kalah indahnya. Arin berdecak kagum.

"Aku ingat. Saat kita jalan kaki, dari persimpangan dekat Bromo menuju Ranupani . Bintangnya juga seindah ini. Meski kalah terang." Arin berkata perlahan. "Oh ya? Tidak terlalu mirip." sahut Andy, mencoba mengingat-ingat. "Aku tidak terlalu memperhatikan, kita jalan jauh banget ya, waktu itu!" ujar Andy bertanya.

Arin tertawa. Tawa pertama yang didengar Andy, setelah beberapa saat lalu mereka berpelukan. Tepatnya Andy memeluk untuk menenangkan Arin yang menangis. "Banget jauhnya, gara-gara Rana! Mau nyoba jalan tanpa carter jeep!" sahut Arin, masih dengan tawa. "Tapi sudut langitnya nggak sama, ya?" tanyanya.

"Langit selalu sama, hanya sudut pandang kita saja yang berbeda." sahut Andy. Ia masih memandangi langit. "Begitu juga dengan luka..." tambahnya pelan, setelah beberapa saat keduanya terdiam.

Arin menoleh, memandangi Andy. Lalu kembali pada posisinya semula. "Ada apa dengan luka?" tanya Arin, separuh bingung.

"Aku pikir, luka itu seperti bintang. Mereka terbentuk dalam ukurannya masing-masing. Ada yang besar, kecil, hitam, merah--tergantung dari sebelah mana kita melihatnya. Dan luka juga menetap seperti bintang. Yang kadangkala terlihat saat malam. Lalu, sama sekali tak terlihat ketika siang. Tapi kita semua tahu, mereka ada disana." kata Andy, panjang dan dalam.

"Masing-masing manusia, mempunyai lukanya sendiri. Yang ukurannya tidak sama. Sama seperti bintang-bintang itu. Akan tetapi--harapan, semangat, cinta dan semua kebaikan yang kita punya. Harusnya seluas langit. Jadi bisa menampung keseluruhan bintang. Menampung seluruh luka. Berapa pun banyaknya luka. Akan terlihat mengecil di langit yang luas tersebut." kata Andy, menambahkan.

"Humm..." Arin hanya menggumam, mencoba mencerna kalimat Andy perlahan.

"Kamu sudah memaafkan Kimo?" tanya Andy tiba-tiba. Ia berguling ke samping. Menatap Arin yang terbungkus sleeping bag, di sebelahnya. Arin tidak menjawab. Hanya menatap Andy sekilas, lalu kembali memandang langit di atas mereka. "Arin..." sahut Andy, memanggil perempuan itu pelan. Arin bergeming.

"Kamu tahu, jika kakakku berkali-kali hendak mengakhiri hidupnya? Bahkan setiap tanggal 16 Maret. Ia akan melakukan sesuatu yang fatal, apabila kami tak mengawasi. Sekarang aku tahu alasannya." ujar Andy, melanjutkan kalimat dengan perlahan dan berhati-hati. Ada dorongan kuat dari dirinya, untuk masuk ke dalam permasalahan ini. Sengaja ia memilih waktu yang panjang, mengajak Arin kemah. Andy bermaksud membahas persoalan ini hingga tuntas.

"Bukankah Kimo sudah menikah sekarang? He's survive." sahut Arin, hampir tak terdengar.

Andy menghela napas. "Tapi kalian belum menyelesaikan perasaan kalian." sahutnya menanggapi.

Arin menoleh. "Apakah masih perlu?" tanya Arin dengan suara sinis.

"Kakakku masih dalam lukanya, Arin. Aku tak tahu kapan ia akan sembuh. Atau mungkin saat kami lengah, itulah titik keberhasilannya. Melenyapkan keberadaannya sendiri. Aku mohon, maafkanlah dia." kata Andy, dengan nada membujuk. Entah atas dasar apa tangan Andy terulur, menyibak helai rambut di dahi Arin. Arin terpejam. Bukan menghayati momen tersebut. Namun menyesapi geletar nyeri di dadanya.

"Aku tidak keberatan menjadi cacat, asalkan Kimo tidak berubah. Tapi ia berubah, bahkan sebelum aku menjadi seperti ini. Aku tidak tahu di bagian mana aku harus memaafkannya. Aku malah merasa tidak perlu memaafkan, karena mungkin tidak ada yang harus disalahkan." kata Arin, suaranya kini terdengar sedih.

Andy menatap Arin. "Aku juga benci Tania! Untungnya mereka tidak sampai menikah!" sahut Andy, ketus.

Arin terkejut. Sampai harus duduk untuk memastikan kalimat Andy. "Maksudmu? Mereka tidak jadi menikah?" tanya Arin tak percaya.

Andy ikut terkejut. "Jadi kamu tidak tahu?" tanyanya, ikut bangun dan duduk.

Arin menggeleng. "Aku menutup semua kontak dan akses, yang akan membawaku kepada kalian. Aku tidak tahu dan tidak mencari tahu." sahut Arin, menekuk kaki ke dadanya.

Andy memandang Arin iba. Ia paham bahwa itu cara terbaik bagi perempuan ini untuk bisa bertahan. Melanjutkan hidup meski dengan membawa luka. Sementara di sebelah pihak masih mencari cara, untuk mengakhiri hidup agar tidak merasakan luka. "Kimo berulang kali, mencoba mengakhiri hidupnya." kata Andy, mengulangi kalimatnya. "Ia pasti merasa bersalah dan menyesal atas apa yang menimpamu! Sampai akhirnya ia harus ditangani Laras. Psikiater yang sekarang jadi istrinya. Laras bilang, kakakku bipolar. Itu sebabnya dorongan untuk mengakhiri hidup terus dilakukan oleh Kimo. Laras selalu mengawasinya, tapi sampai kapan?" tanya Andy, entah kepada siapa.

"Aku tahu Kimo bipolar." sahut Arin, cepat.

Andy menatap Arin. "Benarkah?" tanya Andy, alisnya berkerut.

Arin mengangguk sebelum mengalihkan tatapannya. "Bukan hanya saat itu saja. Sebelum aku--ah, sebelum kami berjanji saling membantu, Kimo selalu ingin bunuh diri jika sedang down." ujar Arin.

"Konyol!" kata Andy, seketika mendesis tajam.

Arin menggeleng perlahan. "Bagi orang normal, mungkin iya. Konyol! Tapi bagi pengidap bipolar... Mereka tidak mampu menghadapi dirinya. Menghadapi luka yang sudah mengakar. Akimora butuh didengar. Kadangkala bagi orang bipolar. Hanya butuh satu orang saja disisi mereka, untuk mendengarkan. Terutama di saat arus menyeret emosi mereka, ke titik terendah." kata Arin, memberi penjelasan.

"Tetap saja, bagiku konyol dan egois! Kadangkala aku benar-benar tidak mengerti! Apa dia tidak memperhitungkan? Bagaimana perasaan orang-orang yang ditinggalkan. Amma, Popo, aku--keluarganya. Apa kami tidak terluka? Jika memang tidak ingin merasakan luka. Mengapa menggoreskan luka yang baru? Apa lantas semuanya selesai?" kata Andy, dengan emosi.

Arin menghela napasnya. "Tidak ada yang mau berada di titik tersebut, Ndy. Tidak juga orang bipolar. Saat perasaan tidak berdaya datang, dan tidak ada seorang pun di sana yang bisa mengerti. Indeed, that is a hell...! Butuh perjuangan untuk bisa naik ke permukaan. Keluar dari perasaan sedih dan terpuruk yang mereka rasakan. Jika tanpa bantuan, akibatnya bisa fatal." kata Arin, menunduk. Menyembunyikan wajah dalam tekukan kakinya.

"Seperti mood swing?" tanya Andy, pelan.

Arin menggeleng. "Mood swing hanya salah satu fase, Ndy... Kimo sudah lama mengidap bipolar. Itu sebabnya ia sering tidak stabil. Di satu waktu ia bisa sangat bijak dan dewasa, kreatif bahkan terlihat super. Dan boom! Seketika Kimo terjatuh dalam pesimisnya. Terpuruk, menutup diri dan sering berbicara tentang kematian. Ada luka gelap dari masa lalu, yang coba ditekan oleh alam bawah sadarnya. Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa karena perpisahan orangtua kalian." kata Arin.

Dalam hati, Andy membenarkan. Penjelasan dari Laras, kurang lebih sama seperti kalimat yang diucapkan Arin. Perlahan, Andy menyadari arti perempuan ini bagi kakaknya.

"Kamu--juga bipolar, Arin?" tanya Andy, dengan penasaran.

Sesaat, Arin terdiam. "I'm still alive--till now." sahut Arin, separuh berbisik.

Andy menghembuskan napas. Ia tidak mendesak Arin lebih jauh. "Kalian--sedekat itu?" tanyanya. Mencoba mengalihkan. Andy kembali berkata-kata saat Arin tak menjawabnya. "Posisiku sama dengan Kimo, tapi aku baik-baik saja." sahutnya, mencoba memberikan argumen.

Arin menatap Andy. "Cara orang berbeda-beda. Dalam menghadapi luka--ya, kan?" sahutnya. 

Lihat selengkapnya