Ini bukan lagi sekedar turbulensi!
Ada kepulan asap di sayap kanan pesawat. Guncangan juga bertambah kuat. Suara-suara panik dari penumpang, mengalahkan suara pilot yang menginformasikan keadaan pesawat. Pramugari berjalan hilir mudik, timbul tenggelam di sepanjang koridor. Memastikan penumpang mengikuti instruksi saat keadaan genting.
Memakaikan safety jacket dan mengencangkan sabuk pengaman. Instruksi yang sudah diberikan diawal penerbangan. Namun, tidak banyak yang mampu melakukannya. Karena panik, masing-masing orang bergerak mengikuti instingnya. Menjerit, berdoa, berteriak histeris dan menyumpah serapah. Hanya beberapa saja yang terlihat duduk, menggenggam kursi pesawat dengan pasrah.
Salah satu pramugari kembali memaksanya untuk tetap duduk. Bahkan menekan dadanya agar diam dan tetap mengenakan sabuk pengaman. Akimora berontak, berteriak pada pramugari tersebut untuk membiarkannya berdiri. Ia panik dan tak dapat berpikir jernih. Tak ada Laras di sampingnya, kemana istrinya?
"Aku harus mencari istriku! Jangan menghalangi!" teriaknya kalap. Sekali lagi Akimora berteriak pada pramugari.
"Nanti kami yang cari, bapak duduk saja disini!" sahut pramugari itu dengan memaksa. Tangannya kembali mendorong agar Akimora tetap berada di kursi penumpang.
Tiba-tiba lampu kabin mati dan keadaan bertambah kacau. Masker oksigen sudah berjatuhan dari slot penyimpanan. Sekali lagi para pramugari mengingatkan mereka untuk menggunakan masker tersebut. Sementara pesawat meluncur dengan moncong yang bertambah turun. Tak ada kemungkinan mereka akan kembali mengudara dengan stabil.
Akimora bertambah panik. Rasa mual dan takut menguasainya. Teriakan, tangis dan lantunan doa terus bergema di sekeliling mereka. Tapi Laras belum juga kembali. Mungkinkah ia di toilet dan terkunci? Dengan gugup, mengalahkan ketakutannya Akimora melepaskan masker dan sabuk pengaman. Ia harus mencari Laras. Peduli setan akan pramugari yang menahannya. Ia harus mencari Laras!
Akimora memburu toilet di tengah guncangan pesawat yang semakin bertambah hebat. Ia berjuang meraih handle pintu dan mendorongnya agar terbuka. Tapi pintu itu terkunci!
Seorang pramugara berbahasa Inggris yang ada di dekat toilet, kembali menahannya. "Sir, you don't allowed to leave!" serunya.
Akimora mengacuhkan. Ia memfokuskan diri untu membuka handle pintu toilet. "Istriku ada di dalam!" teriaknya tak kalah keras. Dengan tenaga yang tersisa, Akimora mendobrak pintu toilet itu beberapa kali. Akhirnya pintu itu terbentang lebar. Ada seorang perempuan yang duduk menangis sambil menunduk. Akimora tak dapat melihat dalam jelas dalam keremangan pesawat.
"Laras? Sayang! Kamu baik-baik saja?" Akimora bertanya. Dengan cepat ia meraih perempuan itu ke dalam pelukannya.
Jantung Akimora berdetak keras seiring guncangan pesawat yang semakin tak terkendali. Ia memeluk perempuan itu lebih erat, pasrah dengan apapun yang terjadi. "Shh--aku disini! Aku disini--kita tetap bersama apapun yang terjadi. Aku takkan meninggalkanmu!" seru Akimora, berusaha menenangkan.
Namun isak perempuan itu bertambah kencang. Kemudian memukul pundaknya dengan kuat "Kamu bohong!" serunya. Dengan histeris perempuan itu memukul pundaknya berulang kali. "Kamu bohong!" serunya lagi.
Sosok itu memandangnya lekat dengan wajah penuh air mata. Bukan Laras! Bukan istrinya! Akimora mendesis pelan, "Arin?" tanyanya. Perempuan itu kembali memukul pundaknya bertambah kuat.
"Babe! Babe... hunny... bangun! Babe?"
Akimora mengerjapkan matanya beberapa kali, silau. Nafasnya memburu. Ia mencoba mengingat dimana dirinya. Bajunya telah basah oleh keringat meski udara di kabin berhembus dingin. Ia butuh beberapa detik untuk kembali.
"Kamu mimpi?" Sebuah suara yang dikenalnya mengembalikan kesadarannya. Akimora menoleh menatap Laras di sebelahnya. Mereka masih di kursi pesawat yang mengudara dengan stabil. Keadaan pesawat terang benderang dan para penumpang duduk dengan nyaman.
"Kamu tidur gelisah, menggumam nggak jelas. Mimpi buruk?" tanya Laras, mengangsurkan gelas air mineral dengan pipet yang sudah tertancap. Ia mengawasi wajah suaminya yang terlihat pucat, bingung dan panik.
Akimora mengambil gelas tersebut dan meminumnya tuntas. Detak jantungnya sedikit melambat. "Hu um, pesawatnya mau jatuh!" sahut Akimora, pelan.