Tentang Hujan

Lila arini
Chapter #14

My Dear, Kimo

Dengan cepat Akimora mematikan ponsel, tanpa menunggu jawaban dari Arin. Lalu dengan sigap ia menuju kamar mandi. Mengguyur kepala dengan air hangat, sebelum benaknya berkelana lebih jauh. Menurut Andy, jarak dari apartment ke Kennedy Town lumayan jauh. Lebih dari dua puluh lima menit. Dimulai dari bus menuju Tung Chung, lalu naik MTR ke arah Central. Kemudian berganti kereta di jalur biru, menuju Keneddy Town. Untung saja aplikasi peta yang ada di smartphone, membantu Akimora menemukan jalan. Selain itu, tanda penunjuk arah dalam dua bahasa memudahkan pencariannya. Akimora tak menemui kesulitan untuk sampai di Keneddy Town tepat waktu.

Saat pertama kali mereka sampai. Andy sudah menukarkan beberapa ratus dolar uang rupiahnya. Meminjamkan dan mengisi sejumlah saldo ke kartu octopus. Hal tersebut membuat segalanya menjadi mudah. Cukup menempelkan 'kartu sakti' tersebut ke berbagai mesin. Maka semua transaksi beres dalam beberapa detik saja.

Namun, ada satu hal yang membuat Akimora mengeluh. Yaitu saat berjalan kaki untuk berganti-ganti rute. Dari bus ke MTR, dan dari stasiun ke stasiun lain. Akimora terbiasa naik turun mobil, atau minimal motor selama di Jogja. Ia telah terbiasa, dimudahkan oleh transportasi bahkan untuk jarak dekat. Tentu Akimora kewalahan dengan kebiasaan jalan kaki di negeri ini.

Dari kejauhan Akimora sudah mengenali sosok Arin. Tiba-tiba ia gugup dan ingin berbalik mengurungkan niatnya. Namun Arin sudah melambaikan tangan saat mata mereka bertemu. Dengan canggung Akimora berjalan ke arah Arin. Mereka berjarak hanya sepuluh meter, namun jarak tersebut seakan bertambah lima kali lipat. Sulit sekali berjalan dengan tenang, di bawah tatapan perempuan tersebut. Akimora tahu bahwa ia belum siap untuk menghadapi Arin.

"Hai!" sapa Arin lebih dulu, lalu mengangsurkan tangan. Mengajak Akimora bersalaman. Akimora menyambut tangan itu dan mengguncangnya perlahan.

Berapa lama mereka tidak bertemu? Lima? Tujuh tahun? Atau kemarin lusa? Mengapa tangan ini masih lembut dan sama hangatnya?

"Nggak nyasar, kan?" tanya Arin tersenyum kaku. Ia mengawasi kegugupan Akimora. Arin tidak menyangka bahwa lelaki ini hanya datang sendiri.

Akimora menggeleng sambil ikut tersenyum, mengacungkan ponselnya. "Thank's to google!" serunya.

Arin tersenyum lega. "Sudah lunch?" tanya Arin.

Akimora menggeleng, ia hanya sempat ngopi tadi.

" Kalau gitu, aku pesan chicken porridge saja, ya!" kata Arin.

Tanpa menunggu persetujuan Akimora. Arin memesan menu makan siang mereka. Rupanya perempuan itu memesan makan untuk dibawa keluar. Setelah membayar dan membawa pesanan, keduanya berjalan ke taman yang tidak jauh dari kedai tersebut. Akimora berjalan pelan menyesuaikan langkah Arin. Hatinya berdenyut ngilu. 

Jika berjalan pelan. Sepintas Arin tidak terlihat menggunakan kaki prostetik, kecuali saat melangkah cepat. Sebab itu Akimora tidak ingin terburu-buru, dan menambahi geletar nyeri di dadanya sendiri. Akimora tak pernah tahu dan melihat Arin lagi setelah kecelakaan itu. Ia hanya bisa menduga-duga. Bagaimana Arin melewati hari-harinya, setelah mereka berpisah. Hari-hari yang dilalui Akimora, setelah Arin menolak bertemu bahkan bersembunyi dan melarikan diri darinya. Adalah hari-hari yang panjang dan menyakitkan. Akimora tahu bagaimana sakitnya Arin, kurang lebih sama. Bahkan mungkin melebihi rasa sakitnya sendiri.

Lima menit kemudian, keduanya menikmati bubur ayam panas dalam keheningan. Tidak banyak orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.

"Akhirnya aku menemukanmu disini--so far away from home!" kata Akimora. Dengan bersusah payah ia memecah kebisuan mereka. Akimora tahu, Arin sengaja menunggunya untuk membuka suara. Bubur ayam tersebut sangat enak dan gurih. Namun karena gugup, rasa laparnya sudah lenyap entah kemana.

"Iya." sahut Arin. Hanya jawaban pendek yang membuat Akimora kembali kehilangan kalimatnya.

"Arin..." panggil Akimora ragu. Lalu berhenti, tak jadi menyelesaikan kalimatnya. Arin menoleh memandang Akimora sekilas. Ia hanya tersenyum kecil, lalu kembali menikmati buburnya. Akimora memberanikan diri untuk bertanya. "Andy bilang, kamu tidak ingin ketemu aku, benarkah?" katanya.

Arin menghentikan makannya, "ya, apakah kita masih perlu untuk bertemu? Untuk apa? Kenapa kamu ingin menemuiku?" tanya Arin memperjelas kalimatnya.

Untuk memelukmu, Arin!

Akimora terdiam, namun benaknya dipenuhi keinginan. "Entahlah! Untuk kamu maki, atau--tampar lagi, mungkin?" sahut Akimora dengan suara mengambang.

Arin memandang Akimora dengan bibir tersenyum, namun matanya tidak ikut tertawa. "Kenapa harus?" tanya Arin, menyambung kalimatnya. "Toh, kita sudah--kamu sudah menyelesaikannya." katanya lagi sambil menelan ludah. Butuh bertahun-tahun bagi Arin untuk menyelesaikan perasaannya. Di saat Arin yakin, ia sudah mampu melupakan semuanya. Arin bertemu secara tak sengaja dengan Andy. Artinya, ia harus siap bersinggungan lagi dengan Akimora. 

Arin tidak pernah benar-benar ingin menemuinya. Apalagi berdua saja seperti ini. Arin setuju untuk bertemu, karena mengira Akimora akan datang bersama Andy atau Laras istrinya. Ia tak menyangka jika lelaki ini berani menemuinya sendirian. Jujur, ia pernah merindukan Akimora, bahkan seringkali. Tapi mungkin itu hanya karena rasa sepi. Sepi kerap membujuknya untuk menghadirkan kenangan manis, pada hari-hari di sepanjang tahun. Hingga tahun-tahun berikutnya. Mungkin hingga hari ini. Tapi sepi itu juga mengajarkannya bahwa memaki, menampar, atau menenggelamkan lelaki ini tidak akan mengembalikan apapun. Apapun.

Lihat selengkapnya