Tentang Hujan

Lila arini
Chapter #15

Death is...

aku bilang, tidak apa jika kita tak bisa bersama, padahal kau adalah tawa, yang kunikmati setiap harinya

aku selalu bilang, tidak apa jika kita tak bisa berdua, padahal kau adalah kumpulan kata, yang kurangkai setiap harinya

aku juga bilang, tidak apa jika kita tak bisa bersua, padahal kau adalah udara, yang kuhirup setiap harinya

kemudian akhirnya aku kembali bilang, tidak apa jika cerita kita sudah tak ada, padahal aku hanya berpura-pura, ketika kubilang aku akan baik-baik saja

aku sedang tidak baik-baik saja, karena hujan menurunkan kata-kata, kau adalah sajak, dan kau tiada

hujan menurunkan kata-kata, namun sajak, kini telah tiada

--

Akimora menyodorkan jus jeruk kepada Arin. "Terima kasih, Arin. Setelah menemukanmu, aku sedikit lega." katanya. Arin mengambil jus tersebut dari tangan Akimora, menghirupnya perlahan.

Keduanya sudah sama-sama tenang. Untungnya mereka duduk di tempat yang tidak terlalu terbuka. Tidak banyak orang lewat yang peduli akan urusan mereka. 

"Kalian sedang bulan madu kedua?" tanya Arin. "Sudah jalan-jalan kemana saja?" tanya Arin lagi, saat dilihatnya Akimora hanya mengangkat bahu.

"Laras sedang ke Big Budha dengan Amma, dan aku belum kemana-mana." kata Akimora.

Arin tersenyum. "Wah, sayang banget, mumpung disini harusnya kamu jalan-jalan!" katanya.

Akimora menyahut cepat. "Tujuanku kemari bukan untuk jalan-jalan!" kata Akimora sambil menyelidik wajah Arin, yang seketika terdiam menanggapi kalimatnya. 

Perempuan itu nampak telah matang sekarang. Arin yang dikenalnya dulu, lebih sering tersipu dan tidak percaya diri. Arin yang sekarang, dapat berkata-kata dengan nada suara yang begitu tenang. Tak lagi tersendat karena gugup seperti dulu. Ia nampak banyak berlatih dalam menghadapi orang-orang.

Arin tersenyum kemudian mengangguk mengerti, "baiklah, aku mengerti!"

Akimora tersenyum berharap. "Ya?" katanya. Ia ingin tahu apakah Arin telah benar-benar berubah.

"Baiklah, aku memaafkanmu, Akimora. My dear, Kimo--dan aku juga meminta maaf untuk apapun alasan yang membuatmu datang kemari." sahut Arin.

Akimora tersenyum menang. 'My dear, Kimo'. Sebutan itu akan spontan diucapkan oleh Arin, untuk membuatnya senang dan berhenti meminta sesuatu. Ia tahu, Arin belum sepenuhnya berubah. Setidaknya saat menghadapinya. Perempuan itu tidak pernah bisa menyembunyikan apapun emosinya. Baik ketika sedih, senang ataupun marah. Akimora tahu dengan pasti, bagaimana membuat Arin mengakuinya. 

"Lalu setelah ini apa?" tanya Arin.

Pertanyaan Arin membuat Akimora terdiam. Ya, setelah ini apa? Pengampunan dari perempuan ini banyak meringankan hatinya. Meski ia tahu tidak akan mengembalikan hari-hari yang hilang. Juga menyembuhkan rasa sakit yang telah dialami oleh Arin.

Akimora tahu. Bukan kata-kata maaf yang akan menyembuhkan, namun waktu. Dan Akimora berharap bahwa ia bisa membeli waktu tersebut. Dengan cara apapun akan ditebusnya. Sakit rasanya ketika menyadari ketidakberdayaannya menghadapi kekuatan Sang Waktu.

"Apapun yang kamu inginkan, Arin..." sahutnya dalam.

Arin memandang lurus lelaki di sampingnya. "Aku pernah berharap kamu mati..." kata Arin tenang.

Akimora menunduk, "ya--saat kamu menghilang, sesungguhnya kamu sudah membunuhku. Aku hanya tidak berhasil menghilangkan keberadaanku." sahutnya. Akimora berharap eksistensinya menghilang bersama potongan diri Arin. Ia menyadari kerapuhannya. Tanpa Arin, dirinya pun tidak ada. 

"Setiap 16 Maret. Apakah kamu perlu merayakannya dengan membuat cemas keluargamu?" tanya Arin sedikit kesal.

Akimora menghindari mata Arin. "Ya, aku tahu. Tapi aku tak tahan dengan diriku yang masih bisa hidup, bahkan masih bisa tertawa--sementara kamu menanggung semuanya sendiri." katanya dipenuhi gelisah.

Arin berkata lagi. "Apakah begitu menyenangkan buatmu? Mencoba bunuh diri setiap ada kesempatan?" tanyanya mengawasi Akimora.

Akimora menggeleng. "Entahlah, kamu pasti tahu rasanya. Seandainya saja berhasil, mungkin akan menyenangkan. Tapi aku kembali gagal saat percobaan terakhir." sahut Akimora seperti menyesali kegagalannya. 

Arin penasaran. "Kenapa?" tanyanya. Akimora menatap Arin, lalu mengangkat bahunya.

Lihat selengkapnya