.....
Aku terbangun dari tidur dengan sebuah mimpi yang entah bagaimana rasanya begitu nyata. Dalam mimpi itu, aku melihat bapak duduk di kursi rotan yang dulu selalu ia banggakan. Kursi yang terbuat dari kayu jati, berukiran indah di bagian kanan dan kiri. Kursi itu pernah menjadi bukti bahwa bapak adalah seorang pengusaha mebel yang sukses sebelum semuanya runtuh. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan mata yang dalam, seperti ingin mengatakan sesuatu yang penting. Aku ingin bertanya, ingin memakinya, ingin marah. Tapi suaraku tertahan. Dan sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun, bapak lenyap bersama kursi rotannya, meninggalkanku dengan perasaan yang bercampur aduk.
Aku membuka mata. Aku melihat dari celah-celah dinding bambu rumah kami yang mulai lapuk: masih gelap. Tak lama, azan Subuh berkumandang dari musala dekat rumah. Aku menghela napas panjang. Hari ini akan menjadi hari yang panjang seperti hari-hari sebelumnya. Aku harus bangun lebih awal, menyiapkan nasi uduk, dan membawa dagangan itu ke pasar.
“Kak, udah bangun?” suara lirih adikku yang paling kecil, Dila, terdengar dari balik kelambu tipis.
“Udah, kamu lanjut tidur aja. Masih pagi,” jawabku pelan sambil berusaha menyembunyikan rasa lelah. Aku tidak ingin mereka tahu betapa berat beban yang harus kutanggung. Dila tidak bersalah. Semua ini adalah tanggung jawabku sekarang. Aku terlalu jahat kiranya bila harus membebaninya. Ia masih anak kecil yang butuh waktu bermain dengan teman-temannya.
Di dapur, aku melihat ibu duduk di kursi rodanya. Wajahnya yang tirus dan pucat tampak cerah pagi ini.
“Kamu mimpiin bapak lagi?” tanyanya tiba-tiba, seolah bisa membaca pikiranku.
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Aku tahu ibu tidak pernah suka jika aku membicarakan hal buruk tentang bapak, meskipun aku tahu aku punya banyak alasan untuk membencinya. Bagaimana tidak? Bapak adalah alasan kenapa kami kehilangan segalanya – rumah, toko, dan semua mimpi yang pernah kami miliki.
“Jangan benci bapakmu, Nak,” kata ibu pelan, seperti mengingatkan lagi. Aku tidak menjawab. Bagiku, bapak adalah sosok yang menghancurkan hidup kami. Tapi bagi ibu, bapak tetaplah suami yang ia cintai. Kadang aku tidak mengerti bagaimana ibu bisa tetap mencintai seseorang yang begitu menyakitinya. Mungkin itulah bedanya cinta seorang istri dengan kebencian seorang anak. Ah, ibu, terbuat dari apa hatimu?
Aku memulai rutinitasku di dapur. Mengukus nasi, menyiapkan bumbu, dan memastikan semuanya sesuai dengan resep ibu. Sebelum stroke menyerang, ibu adalah penjual nasi uduk paling terkenal di desa ini. Banyak orang bilang, nasi uduk ibuku mempunyai ciri khas. Baunya wangi, rasanya gurih sekali. Juga, kata orang lagi, ibu selalu bersabar menghadapi berbagai macam pembeli, mulai dari yang gampangan sampai yang minta ini-itu-ini-itu. Itu dua tahun lalu. Dari semenjak itu, semuanya berubah. Ibu hipertensi sampai kemudian terkena stroke. Aku harus menggantikan perannya, bahkan jika itu berarti meninggalkan sekolah.