.....
Hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan untuk Dila, adikku, sebab hari ini adalah hari terakhir ujian semester genap di kelas 4 SD. Itu artinya, setelahnya ada liburan agak lama. Tapi, kenyataan tak pernah semudah itu. Aku menatap wajah Dila yang terlihat gelisah di sudut ruang tamu. Di tangannya, ia menggenggam formulir ujian dengan stempel besar bertuliskan “BELUM LUNAS”. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa malu dan putus asa.
“Kak, aku harus gimana? Kalau aku nggak ikut ujian kali ini, aku nggak bisa lulus,” suaranya serak, hampir pecah. Aku tak mampu menatapnya terlalu lama. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadaku.
Aku hanya diam, mencoba mencari solusi di tengah kekacauan. Di kamar sebelah, ibu terdengar batuk-batuk pelan. Kondisinya tak lagi seperti dulu. Setelah terkena stroke, semua hal kecil menjadi perjuangan besar baginya. Bapak? Ia baru saja pulang dari perjalanan mencari kerja, lagi-lagi tanpa hasil.
“Sabar ya, Dil. Aku bakal cari cara,” jawabku akhirnya, meskipun aku sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.
Pagi itu, ibu memanggilku ke kamar. Wajahnya yang pucat semakin membuatku gelisah. Ia menggenggam kotak kecil berwarna merah yang sudah usang. Aku tahu isi kotak itu bahkan sebelum ia membukanya. Sebuah cincin emas, satu-satunya perhiasan yang ia simpan sejak dulu. Cincin itu bukan sekadar benda. Cincin itu adalah kenangan dari masa-masa sulit ketika ia dan bapak baru memulai hidup bersama.
“Jual ini, Nak. Untuk biaya ujian Dila,” kata ibu dengan suara lirih. Aku menatapnya, mencoba menolak, tapi tatapan matanya penuh keyakinan.
“Bu, ini kenang-kenangan...”