Setiap hari aku melihatnya, tepatnya saat waktu makan siang. Ia selalu datang ke rumah kakaknya itu untuk sekedar makan siang. Namun, tidak hanya sekedar makan siang, lelaki itu juga kadang suka sering mengangguku.
"Jingga...lagi apa?" tanyanya yang sedang memarkirkan sepeda motornya.
"Lagi main game," sahutku asal, mataku tetap berfokus pada layar ponsel ditanganku.
"Asik sama game aja..." ketusnya sambil melangkah mendekatiku. Aku tahu ia sedang berjalan ke arahku, derap langkah kakinya terdengar di telingaku.
"Eh!" seruku terkejut ketika ia merampas ponselku. Yah aku kalah.
"Nanti main lagi."
"Kembalikan..." pintaku dengan suara datar.
"Buat perjanjian dulu," ucapnya dengan alis yang dinaik turunkan dan senyuman selebar senyuman joker, mengerikan.
"Apa?" tanyaku ketus yang menahan marah sebisa mungkin.
"Asal Abang datang, boleh ngak jangan main game," pintanya. Bukan, lebih tepatnya perjanjian.
"Emang lu siapa?"
"Anak SMA bau asem aja ngomong pake lu lu," ledeknya masih dengan menahan ponselku.
"Ngak mau!" tegasku.
"Yaudah. Ponselnya ambil besok aja."
Apa? Aku terpaku mematung mendengar kalimat terakhir yang telontar darinya, lalu dengan cepat ia menghilang dari hadapanku.
Sungguh, aku tidak ingin kehilangan ponselku. Aku mengejarnya masuk ke rumah kakaknya yang ada di sebelah rumahku.
"Ponselku," tagihku dengan tangan terjulur dihadapannya.