(Tarra’s POV)
Pagi ini, matahari seperti biasa menyinari kota dengan gagah. Seperti biasa juga, cuaca panas selalu menjadi awal untuk menjalani hari. Sekarang pukul 08.30, masih ada 30 menit lagi sampai waktu mata kuliah pertama hari ini dimulai.
Aku melangkahkan kaki menuju simpang gang untuk menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke kampus. Sebenarnya kosanku tidak begitu jauh dari kampus, bisa saja dengan berjalan kaki melewati jalan tikus yang diberitahu teman sejurusanku minggu lalu. Namun, mengingat waktu dan mengingat bagaimana panasnya cuaca pagi ini, aku mengurungkan niat untuk berjalan kaki.
Mobil angkutan umum yang membawaku tengah bergerak menuju kampus – lebih tepatnya gedung kuliahku. Namun, namanya angkutan umum mencari penumpang, sang supir angkutan sering kali berhenti cukup lama untuk menunggu penumpang, yang bahkan sudah menolak naik.
Aku menghela napas berat. Selalu kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kiriku untuk memastikan bahwa aku tidak terlambat sampai di ruangan kuliah. Aku kembali mengeluh ketika menyadari bahwa sekarang ruangan kuliahku ada di lantai 3 gedung.
Setelah melewati 20 menit perjalan yang sering terhenti, akhirnya aku benar-benar sampai di gedung kuliah tempatku belajar. Aku menatap gedung itu sekilas kemudian berjalan cukup cepat menuju lantai 3. Tidak ada lift, eskalator, atau sejenisnya di gedung ini. Hanya tangga dengan jarak antar anak tangga yang cukup tinggi.
Setelah perjuangan melewati tangga yang cukup melelahkan, akhirnya aku tiba – benar-benar tiba di kelasku.
“Selamat pagi, Ra,” aku menoleh ketika suara Sasa menyapa gendang telingaku.
“Selamat pagi, Sa,” jawabku dan mengambil tempat duduk di sebelah Luna.
“Pagi, Lun,” kataku pada Luna yang tampaknya sangat sibuk dengan ponsel pintar miliknya.
“Pagi, Ra,” kata Luna menoleh sedikit kepadaku kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku tidak tahu – dan tidak mau tahu, apa yang dilihat Luna dalam ponselnya sehingga dia begitu fokus melihat itu. Aku mengambil buku catatanku, karena sebentar lagi mata kuliah pertama akan dimulai.
“Seperti yang bisa diprediksi dari si rajin, Tarrasya,” aku menoleh ketika Luna menoleh padaku dan berbicara padaku – sambil tersenyum tentunya.
“Rajin apanya, kau yang lebih rajin, Luna,” kataku mengelak.
Namun begitulah kenyataannya. Luna bagiku adalah gadis yang rajin. Aku mengetahui dia memiliki nilai yang cukup bagus semester lalu. Namun dia selalu mengelak bahwa dia bukanlah orang yang rajin. Dia menikmati hidupnya, dan dia bilang dia santuy.