Air matanya menetes seketika hatinya sakit. Ia tidak bisa berkata apapun sekarang.
Meldy segera berlari ke kamarnya sebelum Arvin melihatnya.
Ucapan Rosa sudah jelas tadi, Meldy menutup dan mengunci pintu kamarnya rapat.
Meldy meringkuk di lantai.
Kenapa seperti ini terjadi di kehidupannya.
Kenapa harus seperti ini?
Apa salahnya sehingga ayahnya tidak bisa menerimanya?
Meldy tidak sengaja mendengar obrolan Arvin dan bundanya tadi, niatnya Meldy ingin ikut bersama Arvin ke kamar bundanya, tapi ia urungkan setelah mendengar ucapan Rosa yang serius.
Kenapa harus terjadi?
Seandainya bisa mengulang waktu, mungkin Meldy sudah tak di sini sekarang.
Hati Meldy mulai rapuh serapuh-rapuhnya, ternyata Arvin bukan kakak kandungnya.
Rasa sayangnya, rasa empati dan simpati ya terhadap Arvin itu apa?
Meldy terus saja menangis, kedua lengan Meldy memeluk dua lututnya ia membenamkan wajahnya.
Ia tak tahu harus berbuat apa?
Ia hanya bisa menangis sekarang, ia terlalu lemah.
Betapa hangat kasih sayang Rosa terhadapnya tapi mengapa ternyata ia bukan ibunya?
Meldy tidak bisa berhenti berpikir sembari menangis.
Hatinya belum siap untuk ini semua.
Hal yang menyenangkan bersama Arvin harus berakhir?
Ia tidak bisa menerima.
Setelah menangis selama mungkin, lalu Meldy pergi ke kamar mandi mencuci mukanya, air matanya ingin keluar tapi sudah tak bisa, matanya sudah sakit. Sama seperti hatinya.
Mungkin haruskah Meldy sekarang bersikap pura-pura tidak tahu?
Mungkin iya.
Mungkin tidak?
Meldy membalas pesan dari Nara, kalau ia tak ingin di ganggu.
Matanya sembab, ia lebih baik didalam kamarnya. Nanti jika ada yang melihatnya dan bertanya Kenapa?
Meldy tidak bisa menjawabnya.
Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya, Meldy ingin membuang rasa sakit di hatinya tapi susah.
Ucapan Rosa ke Arvin tadi, menggema di pikiran Meldy.
Arvin terus saja memikirkan bagaimana jadinya Meldy nanti?
Arvin berniat untuk pergi ke kamar Meldy tapi niatnya terhenti saat Juan menelponnya.
"Lo gak mau gabung?, Kita lagi di rumahnya Didi"
"Ngapain?"
"Adalah, pokoknya rame dah di sini"
"Ada sapa aja?"
"Ada banyak hewan, yaelah cepat dah ke sini!"
"Enggak"
Kemudian dengan cepat Juan mematikan sambungan teleponnya.
"Ganggu aja tuh bocah," ucap Arvin.
Otaknya tak berhenti berpikir kejadian hal yang menyenangkan bersama Meldy, ia suka.
Sekarang ia tak kuat lagi, ternyata Meldy bukan adiknya.
Bukan saudaranya.
Arvin hanya anak tunggal.
Ini sangat menyakitkan.
Arvin keluar kamar, ia pergi ke kamar bundanya.
Ia berniat untuk bertanya lebih jelas.
"Maafin papa ya gak bilang," ucap Wisnu merasa bersalah ke anak tunggalnya itu.
"Pa, terus Meldy gimana?," Tanya Arvin sangat khawatir rasa takut dalam dirinya telah menyelimutinya.
"Papa sama bunda harus kasih tau dia," ucap Wisnu singkat.
"Kapan?"
Wisnu menepuk pundak Arvin pelan.
"Kamu jangan berantem, sudah ya jangan saling ngambekan," ucap Wisnu pelan.
Arvin hanya mengangguk lalu ia keluar.
***
"Bego banget Arvin gak mau," ucap Juan kepada teman-temannya.
Mereka sedang asyik bermain game dan menikmati barbeque di rumah Didi.
"Kenapa dia gak mau?," Tanya Didi sambil membakar daging.
"Gak tau, gak mood palingan," ucap Juan ia tidak ingin tahu.
"Wuhuyy ayo makan!!!!," Teriak Didi sambil meletakkan daging yang sudah dibakar.
Teman-temannya sontak berteriak senang dan langsung menyerbu ke Didi.
"Dasar rakus banget lo!," Ucap Didi kesal ke Juan karena Juan mengambil milik Didi.
"Nyam, enak banget!," Seru Juan.
***
Kaki Arvin terhenti di depan pintu kamar Meldy yang tertutup.
Arvin mengetok pintu itu, belum ada balasan.
Arvin mengetok kembali.
"Mel, lo di dalam?," Tanya Arvin di balik pintu.
"Iya," jawabnya singkat.
"Mel, gue mau masuk!," Ucap Arvin lebih mendekatkan ke pintu agar Meldy mendengar dengan jelas.
"Gak boleh!"