Tentang Meldy

sya_hill
Chapter #32

Perpisahan atau kepergian?

Jika ditanyakan siapa yang paling menyedihkan di dunia ini? Tentu jawabannya adalah Meldy, gadis yang tadi malam menangis kini Meldy menangis lagi, hanya isakan kecil.

Apa yang baru saja Rosa ucapkan di telpon membuat otak Meldy terus berpikir. Rosa mengucapkan bahwa orang tua Meldy datang. Kenapa pagi ini sangat mengejutkan!

Meldy tidak ingin menemuinya tapi di lain sisi ia ingin menemui ibunya. Bagaimana wajahnya? Pagi ini ia akan bertemu dengan ibunya? Ibu aslinya yang telah melahirkannya?

Nara terus saja menyemangati Meldy, Nara mengantarkan Meldy ke rumahnya. Mereka sudah mengenakan seragam karena mau berangkat ke sekolah. Tapi sepertinya Meldy tidak akan sekolah hari ini Nara akan mengizinkan Meldy di sekolah meski Meldy tidak memintanya.

Detak jantung Meldy terus berdetak kencang tidak seperti biasa, tangannya gemetar ia tidak siap.

Nara menggenggam tangan Meldy kuat.

"Nar, gue gak siap! Kenapa harus sekarang!"

"Lo harus kuat Mel, kalo gak sekarang terus kapan?, Gue selalu ada buat lo."

Mobil Nara berhenti didepan rumah Meldy. Jantung Meldy semakin berdetak kencang.

"Tarik napas Mel," perintah Nara.

Meldy mengikuti perintahnya.

"Keluarin pelan-pelan, it's okay."

Meldy mengikuti perintah Nara lagi.

"Udah sekarang lo harus tenang"

"Nar..."

"Udah udah ayok," Nara membuka pintu mobil.

Meldy masih berdiri didepan gerbang rumahnya.

Nara menariknya masuk.

Terdengar perbincangan hangat Rosa dan ibunya.

Dengan langkah pelan Meldy berjalan mendekati pintu rumahnya yang terbuka lebar.

Meldy berdiri mematung ketika melihat ibunya, spontan semua orang menoleh kepadanya.

Arvin segera menarik Meldy masuk. Nara merasa tak nyaman jika ia terus berada dalam situ akhirnya ia berangkat ke sekolah.

"Meldy ini mama," ucap Alinda segera memeluk Meldy. Meldy masih terpaku ia belum membalas pelukannya.

Air mata Meldy menetes menyentuh pipinya.

Lalu Alinda melepaskan pelukannya ia duduk kembali. Arvin menariknya agar duduk. Air mata Meldy terus menetes.

"Lo gak usah nangis, ada gue," bisik Arvin.

"Ini beneran?," Akhirnya kata itu yang keluar dari ucapan Meldy. Meldy masih tidak menyangka.

"Iya Mel, maafin bunda ya," ucap Rosa pelan.

"Mama bakal cerita ke kamu, mama minta maaf ke kamu. Dan makasih banyak Rosa," ucap Alinda.

"Sebenarnya aku ingin Meldy di sini," ucap Rosa jujur.

Alinda tersenyum mengerti.

Alinda mengelus kepala Meldy pelan.

"Sayang kamu ikut mama ya," ucap Alinda pelan. Meldy masih terdiam.

"Tante Meldy gak boleh pergi!," Ucap Arvin ia tidak ingin Meldy nya pergi.

"Vin, kamu gak boleh gitu!," Bisik Rosa.

"Aku sangat merasa bersalah, suami saya sudah sakit sakitan. Dia sudah sadar ingin Meldy ada," jelas Alinda. Meldy terus saja diam ia tidak siap dengan takdir sekarang.

Hatinya masih sakit dan sedih.

"A-aku mau pergi kemana?," Tanya Meldy suara melemas dan kikuk.

"Singapura," jawab Alina sambil tersenyum.

"Apa??!!!!, Gak boleh! Pokoknya Meldy gak boleh pergi jauh!!," Ucap Arvin keras ia tak terima.

"Arvin, kamu harus ikhlas," ucap Rosa menenangkan.

Arvin terus saja menggelengkan kepalanya.

"Tante gak boleh gitu!, Aku besar bareng Meldy. Sekarang Meldy harus pergi gitu??!!"

Alinda tersenyum simpul dan mengangguk, ia sangat mengerti. Ia merasa bersalah harus membawa Meldy kembali kepadanya, ia sangat mengerti dengan perasaan Rosa, Wisnu dan Arvin.

"Arvin kamu gak boleh gitu!," Tegas Wisnu.

"Papa mau Meldy pergi ha?"

"Kita harus ikhlas ini takdirnya," ucap Wisnu.

Air mata Meldy terus mengalir.

"Bunda sayang kamu Mel," Rosa menangis memeluk Meldy sekuatnya, Meldy membalas pelukan Rosa. Tangis Meldy semakin menjadi.

Ia sangat sayang dengan keluarga ini, ia sangat sayang Rosa. Ia juga tidak ingin pergi. Rosa juga bundanya yang sudah merawatnya sampai sekarang.

"Aku gak mau pergi," ucap Meldy dalam pelukan Rosa.

Rosa mengelus rambut Meldy.

Alinda menyengka air matanya, ia tidak tega. Rasa bersalahnya makin menjadi. Ia melihat betapa sayangnya Meldy pada keluarga Rosa.

Rosa melepaskan pelukannya. Rosa menyengka air mata Meldy pelan.

"Mel, lo janji gak mau jauh dari gue!," Ucap Arvin mengingatkan. Ingin rasanya Arvin menangis tapi ia tahan.

Meldy tersenyum air matanya terus saja menetes.

Tangan Meldy mau memeluk Arvin tapi Arvin mengibaskan tangannya.

"Kita kan gak mau pisah, ngapain mau peluk, Lo gak bakal kemana-mana Mel!"

"Gue cuma mau peluk."

Dengan cepat Arvin memeluk Meldy.

***

"Nar, Meldy gak sama lo?" Tanya Reno khawatir. Katanya Meldy menginap di rumah Nara tapi msh tidak berangkat sekolah sekarang.

"Tadi mau berangkat, cuman ada sekarang gak bisa masuk ada masalah penting! Kak Arvin juga gak masuk."

"Jangan telpon Meldy dulu ya pliss," mohon Nara ketika melihat Reno ingin menelpon Meldy.

Reno urungkan.

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan kasian Meldy, nanti aja telponnya"

"Kenapa sih?"

"Ada masalah dadakan dia, biar gue cerita ke lo ya jam istirahat di kantin"

"Ok, nanti jam istirahat!."

Reno menunggu Nara di kantin, jati telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Nara tidak kunjung datang.

"Cepet!," Ucap Reno tidak sabar ketika melihat Nara berlari kecil ke arahnya.

Lalu Nara duduk.

"Jadi kenapa?"

"Gini...."

Betapa kagetnya Reno mendengarkan Nara.

"Nar, Lo serius?," Tanya Reno memastikan.

"Iya kak, kemungkinan Meldy bakal ikut orangtuanya."

***

"Meldy gak boleh pergi Tante, dia belum selesai kan sekolahnya," ucap Arvin ia selalu mencegah Meldy agar tidak pergi.

"Tante ngerti kok, tapi kami sangat membutuhkan Meldy," Alina tersenyum maklum.

"Sayang, kamu mau ikut mamah kan?," Tanya Alinda ke Meldy.

Meldy terdiam.

"Mel, lo sama gue!"

"Aku harus banget pergi?," Tanya Meldy.

"Mamah mengharapkan kamu, kamu satu-satunya anak mamah."

Meldy menyengka air matanya, matanya sudah sangat sembab.

"Bun?," Tanya Meldy ke Rosa.

"Terserah kamu."

"Bun kok terserah?, Aku gak akan biarin Meldy pergi!, Mel lo gak sayang apa sama gue?"

Meldy terdiam, Arvin sangat menyayanginya Meldy juga begitu, tapi Meldy ingin membuat Arvin mengerti dan kenapa msh harus pergi? Apa ini yang terbaik? Agar Meldy tidak merepotkan Rosa dan Wisnu.

Meldy bimbang, ia juga kasihan ke Alinda. Tapi di lain sisi ia ingin terus bersama Arvin di sini.

Apa Meldy harus pergi? Agar Arvin merasa Meldy tetap menjadi adiknya?

Tapi bukan dengan cara Meldy pergi!

Haruskah?

Haruskah?

Haruskah?

Meldy merapikan posisinya lalu menatap Arvin lekat. Arvin menatap Meldy kembali.

"Kalo gue pergi lo bakal lupa ke gue kak?"

Arvin menggeleng.

"Lo gak bakal pergi, gue gak akan lupa lo Mel"

"Kak Arvin, mungkin udah saatnya kita gak bisa bersama lagi, kan aku udah pernah bilang," ucap Meldy, Arvin terus menggeleng.

"Kalo lo pergi, gue sama siapa? Apa lo siap liat gue sama orang lain?"

"Lo gak mau nunggu gue?," Tanya Meldy.

Bibir Arvin tersenyum lebar.

"Lo mau di tunggu gue? Sampe kapan?"

"Sampe waktunya," ucap Meldy singkat. Entah setelah Meldy berucap seperti itu Arvin merasa lega, ia merasa Meldy tetap miliknya.

Meldy melihat Arvin tersenyum lebar, ia ikut senang.

"Lo gak bakal ingkar janji lagi Mel, janji?," Ucap Arvin sambil menyondorkan jari kelingkingnya.

"Janji," Meldy mengaitkan kelingkingnya di kelingking Arvin.

"Jadi gimana?," Tanya Alinda.

"Mah, aku ikut," ucap Meldy cepat dan pasti.

Alinda tersenyum puas.

"Makasih sayang."

Lihat selengkapnya