Sudah jadi pemandangan biasa ketika matanya melihat banyak pengemis jalanan meminta-minta uang kepada pengendara yang hilir mudik. Kendaraan roda dua dan roda empat yang berhenti di persimpangan jalan lampu merah pusat kota, tak luput dari perhatian, kalau mereka target meminta anak-anak pengemis seusia enam tahun hingga sepuluh tahunan ke atas.
Pakaian lusuh, memegang bungkus plastik bekas chiki yang dibeli dari supermarket (mungkin menemukannya di tong sampah ketika mengais makanan). Menentengnya. Plastik kunyel dan lecek, tengadah di udara, tertuju ke kaca gelap mobil-mobil mewah yang berjejer di lampu merah kota, berharap terbuka, memberikan sedikit uangnya. Satu-dua anak-anak lusuh berkata belum makan beberapa hari, berharap akan ada yang berempati.
Ada juga penyanyi cilik membawa gitar ukulele, menyanyikan lagu entah apa. Senandung yang tidak jelas syairnya. Berteriak beranjangsana, menambah bisingnya kota kami di tengah cuaca terik. Beberapa pengendara memasang wajah sebal. Pusing dibuat para pengemis jalanan.
Detik selanjutnya, lampu jalan berubah menjadi hijau, kendaraan melanjutkan lalu lalang mereka. Jalan kota tengah ramai, beberapa anak jalanan memasang raut wajah muram durga nan kecewa. Beberapa di antaranya terlihat mendesah pasrah, sebab musabab tidak mendapatkan uang untuk makan.
Beberapa di antara anak-anak pengemis jalanan kota, selain berpakaian lusuh, kotor yang mana putih berubah jadi hitam dekil, ada pula wanita yang menggendong anaknya menggunakan samben-kain jurig yang diikat di punggung. Membawa balitanya yang menangis di tengah hari kota panas nan terik. Jelas saja dia wanita peminta uang, meskipun ramah tapi sedikit mengganggu pemandangan indah sebuah kota modern. Meminta-minta dengan dalih anaknya belum makan, ini pengganggu utama jalan kota sekitaran BSD city, Tangerang Selatan.
Dekat kantor Telkom, di sana pusatnya mangkal para pengemis lusuh. Bau, tentu saja mereka bau. Mereka kan tidak pernah mandi, untung-untung saja bisa menemukan air untuk cuci muka. Dua-tiga terlihat berkumpul di halte kecil pas sekali ketika turun dari JPO¹ kantor Telkom menuju seberang jalan. Mereka menghitung uang hasil mengemis, saling pamer ke kawan seperjuangan. Ini hasilku hari ini. Kalian?
Pertanyaan yang sering muncul dalam benak Jeffrey Adhiyaksa, kenapa pemerintah kota tidak bertindak? Bukankah pengemis dan anak jalanan tanggung jawab pemerintah? Bukankah sudah jadi urusan mereka menyejahterakan anak-anak melarat itu?
Sebenarnya sudah sering kali Jeffrey melihat anak-anak itu dan beberapa wanita tua pengemis yang membawa anak, dirazia Satpol-PP. Cuma, entah kenapa mereka tetap kembali mengemis walau tahu mereka bakalan dijaring razia lagi. Seolah nyali mereka sangat besar, mereka tidak takut jika berurusan dengan aparat penegak keindahan kota.
Baiklah, Jeffrey tidak akan peduli apapun tentang latar belakang mereka. Baginya ini tidak penting. Dia bukan aparatur pemerintahan yang harus sibuk-sibuk mengurusi semua anak jalanan ini. Buat apa coba sibuk mengurusi mereka, apa ada faedahnya buat pemuda berusia dua puluh tahun itu? Pemuda yang sekarang kuliah di jurusan bisnis Universitas Tarumanagara (Untar), yang jaraknya beberapa kilo meter dari kota Tangsel menuju ke Jakbar. Katanya sih anak muda suka menyingkat nama kota, alhasil penyebutannya pun jadi agak kekinian. Biar apa coba? Ya biar trendi begitu.
Sekarang mata Jeffrey kembali menangkap moment itu. Setelah dua hari tidak berpapasan, siang ini Jeffrey melihatnya lagi, berdiri di ..., ah rupanya dia sudah pindah tempat. Kemarin-kemarin anak kecil, kira-kira berusia 6-7 tahun ini berdiri tepat di trotoar pinggir jalan dekat lampu merah, posisinya pas sekali di seberang Pusat perbelanjaan di BSD, yang berdekatan dengan kantor Telkom area Tangsel.
Namun kali ini, si gadis kecil itu berdiri tepat di depan anak tangga JPO. Dia berdiri di halte, bersamaan dengan penunggu bus dan anak-anak jalanan yang sedang bercengkrama. Tumben sekali dia ada di sana? Biasanya dia rela panas-panasan memperhatikan wajah jalanan yang ramai.
Tapi tunggu dulu, Jeffrey baru sadar kalau anak itu buta. Ya, buta. Dia memegang tongkat besi ringan yang mudah dilipat (white cane), terus memegang kantong plastik hitam di tangan kirinya, pandangnya lagi-lagi kosong menatap ke depan.
"Hei." Suara lirih Jeffrey nyaris hilang terbawa angin, jika saja gadis buta di depannya tidak cepat mendengar suara khas pemuda itu. Ini berkah Tuhan, gadis kecil memiliki indera pendengaran yang cukup kuat, setajam pendengaran hewan berbelalai atau nokturnal. Tangan Jeffrey terulur, hendak menyentuh pundaknya, tapi berhenti begitu si gadis kecil menoleh ke arah pemuda manis ini.
"Kakak bicara padaku?"
Jeffrey canggung mengangguk. Menggaruk lehernya yang tidak gatal. Oh, dia tahu ini aneh, masa dia merindukan sosok wanita kecil buta ini setelah berhari-hari tidak melihatnya lagi berdiri di lampu merah? Tapi dia bukan pengemis, Jeffrey tidak pernah melihat dia mengulurkan tangan ke para pengguna jalan. Lagian, mana mungkin dia meminta uang, kalau matanya saja tak melihat? Memangnya dia bisa meminta uang kepada pengguna jalan, sementara langkahnya saja bertalu-talu sering tersandung oleh batu atau hidran umum yang sering dia lalui.
"Ah, tidak." Jeffrey menjawab gugup, "Hanya ..., kukira kamu ingin naik bus?"