“Tumben pulang malam?”
“Ada tugas tambahan dari dosen.”
Ini agak larut, bukan jam biasa Jeffrey pulang ke rumah. Jam 23: 45, nyaris tengah malam kan?
Pintu menutup, seiring sang Ibu menunggu kepulangan Jeffrey di ruang tamu. Rumahnya besar, ada garasi mobil, kolam, ada taman luas dan bunga-bunga segar di halaman belakang. Sekalian gazebo juga ada di sana. Rumah bercat putih nuansa unik ini hanya diisi oleh Ibunya, sang Ayah dan dirinya serta beberapa asisten rumah tangga.
Terlahir jadi anak tunggal, kadang membuat Jeff seperti terkungkung oleh sikap posesif kedua orang tuanya. Pulang telat selalu dapat panggilan telepon. Atau kadang Jeff akan dijemput paksa oleh sopir, kalau dia masih keluyuran di luar lewat pukul sembilan malam.
Tadi dia berbohong pada ibunya. Jujur saja, ini kebohongan pertama seorang Jeff. Seumur hidupnya, dia terbiasa berkata jujur di balik sifat irit bicara, tapi entah kenapa mulutnya malah enteng berdusta. Dia sedang tidak mengerjakan tugas tambahan. Tapi asyik bermain dengan gadis kecil yang tiga bulan terakhir dilihatnya di lampu merah tengah kota.
“Ibu, Ibu, Ibu.”
Sudah jelas dalam kitab suci yang dianutnya, disebutkan kalau sosok Ibu harus dihormati. Jika sekarang berbohong, itu artinya Jeff telah melakukan satu manipulatif kata dan termasuk ke dalam dusta durhaka pada sang Ibu. Bukan. Ini bukan ajaran kedua orang tuanya. Tidak pernah keduanya mendidik Jeff untuk berdusta. Dia belajar sendiri. Belajar memulai sebuah kebohongan.
Mencoba mengingat kejadian tadi, pikiran Jeff kalang kabut. Menatap gypsum putih di langit-langit kamar, Jeff seperti sedang diajak berbohong untuk kedua kalinya.
Badan Jeff terlentang di atas kasur, berpikir Ikhwal mengenai dustanya pada Tyas, gadis kecil yang beberapa jam lalu sudah akrab dengannya.
“Sst ....” Suara desisan Tiur—gadis sekiranya seumuran Jeff, mengatup mulutnya dengan jari telunjuk. Matanya nyalang menyorot Jeff yang hendak menutup pintu kayu. Gadis berkerudung cokelat itu tidak beranjak dari duduknya di sofa usang. Hanya adiknya yang menghampiri Tiur, memberikan bungkus obat pesanannya.
Sekilas tidak ada yang aneh dengan kode isyarat Tiur tadi, tapi berkat kepintaran Jeff, dirinya memahami maksud tersebut. Gadis bertubuh ringkih itu terbaring di atas sofa bobrok, bolong di beberapa sisi. Terus ada bantal yang sudah berjamur, berbintik hitam. Melirik ke bawah, ternyata ada banyak tetes darah di lantai. Di mulut Tiur, di jilbab cokelatnya, di tangan dan tisu. Apakah dia .....
Untuk kesekian kalinya, Jeff mendesah sesal. Tanpa disadarinya, dia telah masuk ke lubang rahasia orang lain. Itulah alasannya kenapa gadis bernama Tiur itu meminta jangan kaget ketika melihat kondisinya yang memprihatinkan. Tiur berkata baik-baik saja, padahal dia sedang menderita. Gadis buta kecil itu jelas tidak tahu apa yang terjadi pada saudarinya, tapi jelas manusia yang memiliki mata normal tahu kalau Tiur mengidap penyakit parah.
“Katanya kak Tiur demam panjang, tiap hari Tyas selalu berikan kak Tiur obat. Kalau obat habis, nanti Tyas jalan sebentar ke apotek pusat kota, nyari obat kak Tiur, buat demamnya nggak kambuh. Kakak sering ngeluh, demamnya nggak pernah mau reda akhir-akhir ini.”
Jeff mengangguk paham mendengar cerita Tyas (yang berisi penjelasan polos). Dari seberang sofa usang, Tiur mati-matian mengode jangan bicara apapun pada Tyas, atas apa yang pemuda itu lihat. Sekejap, seperti sedang meminta merahasiakan sesuatu. Jeff duduk lama di depan adik kakak ini, memperhatikan kehidupan mereka. Lantas berkenalan kilas dengan Tiur.
“Oh iya kak Jeff, Tyas belum bilang makasih sudah diantarkan pulang. Biasanya ada tetangga sebelah yang anterin Tyas pulang dari apotek kalau dia lihat Tyas nungguin di lampu merah. Tapi hari ini dia nggak datang, mungkin karena sibuk bekerja.” Gadis kecil melanjutkan ceritanya. Jeff sekarang mengerti, kan dia pintar, otak nalarnya sudah sepatutnya merangkai potongan cerita Tyas jadi satu.
Maksudnya begini, Tyas tidak tahu jalan pulang. Dia hanya tahu jalan menuju ke apotek, tapi lupa jalan menuju ke rumah. Setiap selesai membeli obat, gadis kecil menunggu tetangga sebelah di lampu merah, nanti Tyas diantar pulang.
“Begitu ya?” Jeff buka suara, setelah tadi beberapa menit hening. Menjadi pendengar baik untuk setiap detail cerita Tyas.
“Abang Jeff, makasih sudah anterin adikku pulang. Tyas, buatin Kak Jeff teh.”