TENTANG MEREKA

JOSÉPH AL-IQBAL
Chapter #3

03 — Kedekatan

Kali ini Jeff tidak akan pulang telat. Dirinya memastikan pulang ke rumah sebelum Maghrib, atau sebelum Ayahnya pulang dari bekerja, atau mungkin sebelum Ibunya mengomel, membuat Jeff harus kesal sendiri akibat ulahnya.

Sepasang suami istri sibuk makan masing-masing. Ada banyak makanan terhidang di atas meja makan besar memanjang, ada keranjang buah di tengah-tengahnya.

Ayah Jeff bukan seorang CEO besar seperti di dalam novel, atau bahkan Jeff anak pengusaha kaya raya yang punya kekuasaan mutlak. Bukan. Jeff bukan anak semacam itu. Dia hanyalah anak kepala PLN Persero area Jabodetabek, sementara Ibunya dosen sejarah di UNJ, sedang Jeff, pemuda itu kuliah di PTS terkemuka di Jakarta. Tidak ada yang spesial kan dalam hidup Jeff. Dia juga bukan anak beruntung yang memiliki cerita baik, kisah pilu, kisah hebat penuh petualangan dan prestasi atau sebagainya. Hidup Jeff datar-datar saja, sebuah kehidupan yang sebenarnya tidak patut untuk diceritakan. Atau lebih untung nama Jeff bakal abadi di dalam sebuah telenovela sebagai seorang CEO dingin, posesif, etc.

Tidak banyak yang dibicarakan makan malam ini. Hanya hening, sibuk makan sendiri-sendiri, kalang kabut pada pemikiran lama, barangkali pikiran tentang tadi siang masih nyangkut di dalam otak. Berpikir bagaimana (atau tindakan apa yang harus diambil) menghadapi masalah hari ini.

Melangkah jauh ke rumah Tiur, gadis yatim piatu itu masih terjaga. Dia terbatuk-batuk di atas tempat tidur, kadang kala tenggorokannya terasa sangat gatal dan kering. Batuk kali ini sama seperti batuk-batuk sebelumnya, Tiur batuk berdahak, bukan lendir seperti ingus, tapi lendir darah. Cukup banyak, kontras tumpah di telapak tangan. Cepat-cepat Tiur mengusap darah itu di jilbab cokelatnya, yang masih setia dia pakai dari kemarin.

Rambutnya kian merontok seiring terbitnya matahari, tersenyum menyapa paginya. Nyeri itu datang lagi malam ini. Nyeri di otaknya, yang menjalar ke seluruh tubuh. Tangannya yang hendak meraih gelas air putih di atas bufet kecil di sebelah dipannya, justru terlepas dari genggam. Jatuh ke lantai, membuat suara gaduh sekilas.

“Kakak.” Tyas datang terbata-bata dari kamar sebelah karena mendengar suara erangan dan gelas pecah. Yang dipanggil kakak mencekik lehernya pelan, berharap gatal di tenggorokan segera reda. Tangan Tiur menjulur, membuat langkah Tyas berhenti di depan pintu kamarnya.

“Banyak beling. Kakak bersihin dulu, kamu lanjut aja tidurnya, kakak nggak apa-apa kok. Cuma nggak sengaja jatuhin gelasnya.”

“Tapi dari tadi kak Tiur batuk-batuk. Obat batuknya udah diminum kan?”

Ada anggukan dari kepala Tiur, merespon kekhwatiran adiknya. Tapi namanya orang buta, manalah paham dia atau manalah tahu dia kalau kakaknya mendengarkan titah gadis kecil.

“Kakak cuma haus tadi, nanti bakalan reda kalau sudah minum obatnya. Kamu kembali aja tidur, kakak mau beresin dulu semua beling di sini.”

Baiklah, ini alasan yang logis. Anak seusia tujuh tahun tetaplah anak polos. Mereka tidak akan bertanya lagi, atau bersikap cerewet mengenai kesehatan saudara mereka. Sedikit tentang Tyas, dia anak yang baik dan peka. Sudah barang tentu dia memahami betul penyakit kakaknya. Demam berkepanjangan, sebuah alasan yang selalu Tiur lontarkan setiap kali Tyas bertanya prihal penyakitnya.

Bangun itu berat, apalagi untuk gadis bertulang lemah semacam Tiur. Dia bukan tidak bisa berjalan, tetapi tidak mampu berdiri cukup lama. Jadi selalu terbaring di atas kasur adalah pilihan yang tepat. Namun karena kejadian barusan, mau tidak mau dia harus bangun. Hitung-hitung pemanasan, biar tulangnya yang terasa lumpuh bisa digerakkan.

Sambil ngesot, Tiur membersihkan semua beling. Air mata sudah luruh, berderai melewati pipi membentuk parit di sekitar semburat merahnya. Teringat betul kalau dia saat ini sudah menyusahkan orang banyak.

•••••

Ini hari ketiga di mana Jeff bertemu dua saudara yang cacat. Katakanlah begitu. Satu buta permanen, satunya lagi lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa. Namun ada dua hal unik dari kedua gadis yatim-piatu itu.

Satu, Jeff merasa keduanya berhati malaikat, berwajah seri, teduh muka yang elok dipandang, memilik wajah manis dan ranum. Tidak bosan kalau terus melihatnya. Kedua, mereka memiliki sifat yang tabah dan sabar. Jeff bisa tahu itu dari tingkah mereka yang saling menjaga satu dan yang lainnya. Meskipun mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi. Mereka saling menyayangi dan melindungi.

Lihat selengkapnya