Tentram

Muhammad Alfi Rahman
Chapter #2

Chapter tanpa judul #2

Kedua tangan muda seorang laki-laki sibuk mengelas baja. Tangan kanan memegang api, tangan kiri memegang timah. Pelan-pelan dibakar dengan tekanan tinggi di sela-sela baja yang disambungnya. Peluhnya mengalir di sela-sela rambut dan helmnya. Sangat pengap dan panas disini. Dari balik kacamata lasnya, ia melihat dengan teliti percik-percik api yang menyambung diantara baja-baja konstruksi. Baja-baja itu perlu untuk dilas, disambung dengan bagian-bagian lainnya. Sebelum nanti baja itu dicor dan tertutupi oleh semen disekelilingnya.

Proyek besar gedung pemerintahan ini terlihat megah dari desainnya. Dari desainnya, gedung ini berlantai enam. Sekarang, pembangunannya sudah mencapai lantai empat. Banyak sekali pekerja yang sibuk menata-nata bangunan disana.

"Mas, kamu dipanggil bos," sapa seseorang menepuk pundaknya. "Sekarang."

"Baik."

Anak muda itu mengusaikan pekerjaannya. Alat las itu dibiarkannya begitusaja, masih menancap juga kabelnya di stopkontak. Jika sesuai dengan gambar, maka harusnya tak perlu menggunakan las sambungan seperti ini. Tinggal beli baja yang sudah dicetak menyambung dari pabriknya. Tapi sepertinya, orang-orang konstruksi tak begitu yakin dengan itu. Sudahlah, pikir laki-laki itu sambil mencopot helm proyeknya dan berjalan pergi ke ruangan sederhana dibawah teriknya matahari di belakang tempat konstruksi. Tangannya memegang gagang dan memelintirnya perlahan, lalu membuka pintu itu sambil mengucapkan permisi. Ruangan bersih rapi dengan orang-orang memakai jas, sibuk duduk bersama disini.

"Sudah datang, duduklah," kata mandor proyeknya. "Bagaimana?," katanya.

Pemuda itu duduk berseberang meja dengan mandornya. Sebuah meja yang lengkap dengan segala jenis alat tulis, buku, tanggalan dan banyak lagi lainnya.

"Baik, semuanya baik." Pemuda itu menunduk saat berbicara.

"Kau tidak keberatan dengan itu?," tanya mandor.

"Keberatan dengan mengelas sambungan? Tidaklah," pemuda itu tersenyum. Memang itu hal yang biasa menurutnya.

"Baiklah," kata mandor sambil memegangi boplennya. "Tapi tolong baca ini," mandor menyodorkan kertas dan pemuda itu mengambilnya.

Nafas panjang terhirup dari hidung pemuda itu saat ia membacanya. Ia tersenyum kecewa melihat kertas yang datang ditangannya ini. "Jadi, beginilah jadinya?," tanyanya.

"Iya. Tapi kami akan membayarmu penuh."

"Terimakasih."

Kertas itu bertuliskan pemberhentian. Alasannya yang tertulis adalah efisiensi perusahaan, jadi perlu pemangkasan pegawai. Padahal, ia belum ada satu bulan bekerja disana. Pekerjaan yang didamba-dambakannya sejak dulu. Bekerja di proyek, membangun gedung-gedung besar. Tapi memanglah begini adanya, ternyata pabrik mengingikan efisiensi. Bukan efisiensi tepatnya, tapi memang ada yang membenci. Sehari saja setelah ia bekerja, ia merasakan dengan jelas aroma itu. Langkah kakinya terasa digunjing orang dari belakang. Banyak yang tidak suka ketika ia datang, apalagi dari golongan orang-orang lama. Saat bekerja, kupingnya pernah mendengar selentingan orang berkata, "Kalau kerjanya begitu saja, mending aku kerjain. Nanti gajiku ditambah setengah saja tak mengapa. Daripada membayar satu orang penuh." Dari situ, ia tahu bahwa banyak orang yang tak menyukainya disini.

"Baiklah, terimakasih atas kesempatannya." Pemuda itu berjabat tangan dengan mandor kencang-kencang.

Lihat selengkapnya