Rahmi duduk bersandar di pojok cafe. Ia memilih tempat di tepi jendela, sembari melihati pemandangan di luar sana. Matanya yang sayu menerawang jauh ke luaran sana, melihati bocah-bocah kecil berlari-larian dibawah terik matahari ditengah perempatan. Mereka sibuk mengamen di tiap jendela-jendela kanan mobil yang berhenti di perempatan. Langkah kaki legam kurus mereka berjalan memutar melewati sela-sela mobil yang berhenti menunggu lampu merah berganti hijau nyalanya. Terik matahari seolah menyemangati bocah-bocah umur empat sampai dua belasan tahun ini, bernyanyi dan mengocok kentrung berharap kaca mobil itu turun sedikit dan memberinya uang dari sela-selanya. Berharap dapat banyak, nyatanya hanya dua mobil yang memberi bocah itu uang. Rahmi melempar pandangannya lagi kedalam cafe, handphone yang ada diatas meja berdering. Bayu menelponnya. Tapi dipandangan Rahmi, Arif sudahlah datang. Ia ada diluaran cafe sedang memarkir motornya dan bersiap masuk kedalam. Rahmi membiarkan handphone berbunyi, lalu ia menolak panggilannya. Arif muncul di pintu cafe dengan wajah bingung, Rahmi yang sudah memerhatikan dari tadi melambaikan tangannya.
"Sudah lama?," tanya Arif sambil melepas tas selempangnya, ia duduk berseberang meja dengan Rahmi.
"Tidak juga. Hanya lima menit mungkin."
"Yah, itu cukup lama," jawab Arif sekedar basa-basi sambil melepas jaketnya. "Bagaimana kabarmu? Lama tak jumpa."
"Baik, aku baik." Kata Rahmi.
"Sekarang, sibuk apa?,"
"Aku bekerja sebagai wartawan." Rahmi mengangkat cangkirnya, lalu mencium ujungnya. "Sekarang aku ditugasi pemred untuk menilik masalah pabrik belakang sawah itu."
Sebenarnya ia tak diminta, Pemrednya memilih orang lain dalam investigasi dana korupsi ini. Ia ditugasi dalam tajuk yang lain. Tapi karena ada kesempatan baginya untuk bertemu Arif, ia berkongsi dengan kawan yang dipilih Pemrednya itu untuk bertukar peran. Orang itu menyetujuinya, dan ia sekarang disini, bertemu dengan seseorang yang menjadi narasumbernya sekarang. Kesempatan bertemu Arif ini cukup menggetarkan dada sebenarnya, dadanya bukan lagi diterbangi oleh kupu-kupu, tapi terasa meledak melihat seseorang yang mampu menjatuhkan perasaannya waktu SMA dulu.
"Kau bekerja sebagai wartawan?," Arif terkejut mendengarnya. "Berarti kau satu tujuan dengan Budi?,"
"Budi?," tanya Rahmi bingung. "Siapa dia?"
"Dia teman kita SMA dulu, tapi dia anak IPS. Tapi dia bekerja di LSM, bukan wartawan."
"Sama-sama mengurusi pabrik belakang sawah itu?."
"Iya,"
Mereka berdua diam, sama-sama diam. Arif tak mengambil pusing masalah itu, ia melempar pandangannya jauh keluar jendela. Melihati anak-anak pengamen yang sedang berlarian masuk kedalam gang. Tidak hanya mereka, pedagang kaki lima juga sedang ribut mendorong gerobak-gerobak mereka masuk kedalam gang. Suara dentingan piring dan gelas diatas gerobak mereka terdengar, karena saking ributnya. Dua truk operasi Satpol PP datang dari kejauhan, mobil itu berhenti di pojokan perempatan. Puluhan pasukan turun dari truk, kaki-kaki mereka dengan sigap berlari mengejar anak-anak dan pedagang-pedagang itu masuk kedalam gang.
"Lihatlah, sejak dulu masih saja begitu kelakuannya," Arif berkata sambil meminum es teh pesanannya. "Kapan selesainya urusan seperti itu."
Rahmi hanya diam. Dalam hatinya, dentum-dentum itu bergetar sangat cepat. Nadinya menyembur diantara arteri-arteri tangannya. Tangannya gemetar, ia berusaha tenangkan dengan menempatkannya diatas pahanya. Tapi ia tetap saja bingung dan tak bisa memahami apa yang dikatakan Arif tadi.
"Rahmi?," Arif menanyainya.
"Iya?," jawab Rahmi kaget. "Kenapa?,"
"Nggak, tidak mengapa. Lanjutkan saja. Ada telpon di hapemu," Arif mengingatkan Rahmi. Handphonenya sekarang berbunyi, wajah Bayu tertampil di layar besarnya. Rahmi yang kepalang canggung akhirnya mengangkatnya dan meletakkannya di samping telinga.
"Halo, ada apa?," ucap Rahmi ramah pada telponnya. Dalam pikiran Rahmi, entah apa yang dilakukan Bayu, menurutnya mengganggu ketenangannya. Ia tak bisa berpikir dengan tenang saat ia berusaha menenangkan dirinya. Suara Bayu menggema di pikirannya, tapi ia tak menangkap satupun kata dalam pemahamannya. Suara itu lewat begitusaja di telinganya. Diperhatikannya, Arif hanya diam dan memandangi luar. Orang tampan itu memikat hatinya sekali lagi. Entah apa yang dikatakan Bayu di akhir-akhir percakapannya, yang ada telpon itu ditutup darisana. Rahmi meletakkan hapenya diatas meja.
"Siapa?," tanya Arif basa-basi.
"Oh, ini anu." Pikiran Rahmi kosong seketika, "Kawan tadi." Jawabnya sebisanya.
"Iya." Arif menengok dalam-dalam ke wajah Rahmi sekarang. "Sekarang, apa yang kau minta dariku?,"
Rahmi berusaha untuk tetap professional, tapi sepertinya ia tak sanggup melakukannya sekarang. Perasaannya melemas, wajahnya memerah karena malu dipandangi Arif seperti itu. Ia membuka lagi hapenya dan melihati check-list pertanyaan yang sudah ditulisnya tadi saat di kantor.
"Ini, aku ingin bertanya masalah ini," tanya Rahmi. "Apa kau merasa janggal dengan pembangunan gedung enam lantai itu?,"
"Tidak juga," jawab Arif. "Aku tak berpikir itu janggal."
"Mengapa? Aku yakin kau pernah mendengar desas-desus korupsi disana."