TAHUN 2021, seorang pemuda New Yorker bernama Otis Brooks Pillinger memulai kuliahnya di Perguruan Tinggi Ekonomi dan Finansial (PTEF) di dekat distriknya. Otis bukanlah pemuda yang rapi sehingga ia bisa mendata keuangan atau menghitung PDB negara. Faktanya, dia adalah pemuda yang kisruh, emosional, dan lebih suka menggambar abstrak daripada akuntansi. Otis melanjutkan kuliah di sekolah depan taman Zucotti dan Barat daya gereja Trinity, karena pertama: sekolah itu tak jauh dari kondominium tempat keluarganya tinggal, dan kedua: Mom-nya, Ava, sudah berjasa mengumpulkan uang seharga ratusan dolar, agar anak pemalasnya bisa mendapat skor SAT yang tinggi.
Sungguh heran Mom itu, melihat anaknya ternyata mampu mendapatkan skor yang tinggi di mata pelajaran matematika. Karena sebenarnya Otis itu seperti Sang Dad, Julian Pillinger. Seorang direktur film yang modal coretan ide saja, sudah dibayar ratusan juta dolar. Sampai saat ini, Ava yang bekerja sebagai konsultan pajak, menetap di kondominium pribadi mereka di pojok barat New York. Kondominium itu dibeli atas nama Julian, tetapi karena sibuknya, ia tak bisa menetap di ujung kota dekat sungai Hudson ini. Terpaksa Julian harus tinggal di New Jersey, meninggalkan istri, satu anak laki-laki bungsunya, dan cucu yang dititipkan di sana.
Beker modern berbunyi seolah datang bahaya, sedangkan pukul 07.15 di layarnya berwarna merah sangar. Otis masih mengenakan piyama hijau botolnya sebelum kemudian ia menyadari ilernya sendiri mengenai foto pemeran Gwen Stacy yang digemarinya. “Crap! Kamu sangatlah teledor, Otis! Kau membuat bindermu basah!” Adalah hal yang maklum bagi para introvert berbicara sendiri dengan keras-keras ketika tak ada orang.
Pemuda itu buru-buru berganti pakaian, dan mengatur rambutnya yang ash (coklat keabuan) dan menggandeng tasnya. Terdengar suara kapal di pelabuhan saat ia menuruni tangga. Di lantai bawah, pintu depan berwarna putih sudah strategis, artinya pemuda itu bisa kabur, melangkahi sarapan, dan mengayuh sepedanya ke PTEF.
Pemuda jangkung itu melangkah gesit dengan kaus kaki navy-nya. Namun, Ava Pillinger segera menghentikannya. “Mau ke mana? Ini sekarang setengah delapan, mengapa baru turun? Sini dulu, Otis.”
“Aku bakal terlambat ini, Mom. Ayolah, bukannya Mom sendiri yang bilang kalau telat bukan budaya kita...?” Mata biru pemuda itu mengecil, tak beda dengan milik Momnya yang juga biru berlian.
“Tadi Mom yang mengantarkan Sybil. Bukankah itu tugasmu antar jemput dia?” Pemuda itu kaku sejenak memikirkan keponakan kecilnya yang harus diantar ke Elementary School di timur rumahnya.
“He-he-he..., Aku lembur semalaman, Mom. Kau tahu, belajar bisnis sampai kapanpun bukan passion-ku, tapi kau pasif-agresif terus memaksa. Aku bisa gila sungguh!”
“Jangan gila nanti aku membutuhkan uang lagi untuk membayar ahli saraf. Sudah berangkat sana! Kisruh!”
"Yeah, Mom. Bye!”
“E-eh, mau ke mana?”
“Hah?” Pemuda yang melebihi tinggi ibunya sekitar dua senti itu membalik badannya lagi. Dikira ia sudah boleh pergi.
“Jelaskan ini dulu.” Tangan Mom yang dilapisi kutek bening menyodorkan struk Alibaba Store untuk pembelian barang daring. Dan wah, itu lumayan panjang. Panjang juga alasan yang harus Otis jabarkan kepada Mom.
Bibir Otis bergetar, dan getaran itu sampai ke tangannya. Ia melihat wajah Mom yang sinis dengan takut-takut. Ia tak mampu berkata apa-apa.
Mom menggeleng. “Apa yang kamu beli sampai habis sebesar itu!? Kau kira cari uang itu mudah seperti membalik tangan? Kuberinama kau Otis Brooks yang artinya kekayaan yang mengalir seperti sungai. Mengapa malah hobi menguras uang seperti keran?? Keterlaluan kau, kau membuatku ingin menjadi pelacur!”
“Mom...,”rengek Otis yang teramat menyesal. “Aku membeli peralatan melukis...” Tangannya menarik-narik tali di hoodie hitamnya.
“Lagi?”
“Dan beberapa tumpuk bacaan.” Kali ini ia lebih baik jujur saja.
“Kau masih belum mengerti ya? Kalau bacaan itu tak berguna? Buktinya apa? Kau tak segera pintar dan otakmu hanya ada pada artis rambut merah itu! Stop! Cabut dia dari tembok kamarmu!”
“Tapi ini New York, Mom. Dan saat ini maklum bagi pemuda menggemari artis! Kumohon jangan kolot, Mom. Aku bisa melakukan hal lain, tetapi tidak untuk itu. Bye!”
“Oh, Tuhan. Otiiisss!!!”
Otis keluar dari pintu kaca di lantai paling bawah kondominium (kons) nya dengan amat pasrah. Pintu kaca itu tadi berbunyi saat ia keluar, tetapi itu tidak menarik lagi. Ditatapnya pohon Sundari gersang yang dari arah Barat terdapat anak-anak kecil yang berteriak sambil berlari. Di depan pintu masuk kons terpencilnya ada beberapa hektar taman dan jalur untuk penjalan kaki sebelum pagar marmer dengan lautan. Ia memang tinggal di pojok kota New York.
Otis berjalan lima puluh meter setelah masuk ke barat kons-nya, yaitu Jalan Liberty PL. Dan ia membuka kunci sepeda gratis di area parkir depan sebuah toko cleanser. Di daerah jalan Liberty PL banyak sekali toko-toko cleanser. Karena itu, ia sempat menjelaskan alamat rumahnya saat orientasi siswa, kalau kons pribadinya terletak di depan Upper Bay, dan pertama yang harus kau lakukan kalau kau akan datang adalah melewati toko-toko cleanser berjejeran, baru kemudian belok kanan.
...
Sudah jam setengah sepuluh saat Otis sampai di PTEF New York. Gedung sekolah itu seperti markas, benar-benar tak terkesan dari luar isinya. Hanya gedung 4x9 yang entah terbuat dari apa luarnya, tetapi pelajar di sana lebih suka menyamainya seperti laci. Di atas tengah pintu kaca berlapis alumunium, terdapat tulisan dengan huruf besar, ‘Perguruan Tinggi Ekonomi dan Finansial (PTEF)’ dan bendera Bintang dan Garis. Otis, pemuda berhoodie itu masuk ke dalam sekolahnya yang megah dan melihat betapa tak ada kata ‘telat’ di sini.
Otis masuk dengan buku binder beserta tumpukan buku lain di atas dadanya. Wajahnya mencari-cari, sampai akhirnya ia menemukan teman sekelasnya bernama Thiago. “Hey, Thiago!” Ia berlari sejak depan pintu menuju seorang lain yang berada di lorong kampus.
“Hey, Tis. Mau naik bareng?” Tawarnya tiba-tiba.
“Ya..., tidak juga. Hanya aneh pikirku berjalan sendiri tanpa circle. Kau sendiri mau ke kelas?” Dua pasang sobat itu ternyata sudah berkawan sejak Secondary, tak menyangka mereka berkumpul lagi di satu kampus yang sama.
“Kalau kau mau naik, pergilah duluan. Sampai nanti, Sobat!” Otis meneriakinya dengan dua tangan di dekat mulut agar menggema.
“Hoy!!” Temannya yang berambut ikal itu mengiyakan dengan teriakan yang sama kerasnya.
Setelah itu Otis mundur-mundur, ke depan pintu staff, dan dirinya menyempil di samping jendela majalah dinding yang tebalnya lima senti. Kemudian ia mendengar percakapan orang yang sedang lewat di depannya.
“Emmh, memangnya tidak bisa kalau menyelesaikan lebih awal dan mendapat potongan nanti di akhir? Saya benar-benar butuh lulus, Ma’am...” Otis mendengar suara wanita di dekatnya, yang memanja pada Mrs. Ramona yang terlihat langsing dengan pakaian hitam khas pegawai bank.
“Tidak bisa, Mary. Ma’am tahu betapa susahnya hidupmu. Dan kamu terpaksa harus segera menikah. Pasti kau menyayanginya, ya? Kau ingin cepat-cepat lulus agar menjadi wanita yang benar-benar dewasa, iya? Em, tapi mau ditawar bagaimana lagi, itu tak bisa.” Asal kau tahu betapa dekatnya Mrs. Ramona dengan Otis saat ini, Otis yang merangkul tasnya kalau main jalan saja bisa membuat Ma’am yang banyak omong itu terjungkir.