Setelah tim berketuakan MJ menyelesaikan tugas dari Mr. Suchet, Otis menawarkan untuk nongkrong bareng ke Fulton Center. Fulton Center adalah mall terbesar dan termewah di New York. Alangkah senangnya hati MJ ketika Otis bilang pemuda itu yang akan menanggung biaya belanjanya. Awalnya MJ menolak, tapi ia sadar mungkin dengan menerima tawaran pemuda itu, ia bisa membahagiakan orang lain. Dan sebagai muslim yang baik, sebaiknya ia tak menolak rezeki yang datangnya dari Allah.
Minggu pagi ketika Otis mendapat DM di ponselnya. Cing! Sebuah akun yang tak dikenal, belum pula saling follow. Ia klik pesan dari akun itu dan membaca. “Hey, penggemar Emma Stone. Yuk turun. Katanya mau traktir kita?” Demi apa maryam.alaoudin03 ini!? Apakah ia sudah di halaman rumah!? Otis membuka tirai kamarnya dan melihat.
“Crap! Mengapa sepagi ini!?” Otis mengenakan tas selempang berduitnya dan segera keluar dari kamar. Ia berlari belok kiri dan buru-buru keluar dari pintu bawah.
“Otiisss!” Ava menahan pemuda yang main kabur itu,
“Mom!? Tak bisakah kau berhenti memanggilku dengan kaget begitu?? Ada apa!?” tangan pemuda itu mengepal, dadanya kembang kempis. Hari begini mesti ribut sama Mom!
“Mau ke mana? Tak pernah seumur-umur aku melihatmu turun dari kamar di bawah jam delapan...” Ava berpeluk tangan dan bersender di suatu meja makan.
“Tebak apa!? Aku akan pergi ke Fulton Center. Bagaimana denganmu? Seumur-umur apa kau pernah pergi ke sana setelah berpisah dengan Dad?” tantang pemuda yang berusia hampir 19 tahun itu.
“Aku tak tertarik belanja,” balas Mom bernada meludah,
“Ya, karena kau tertarik menampung uang.” Otis bermain tangan di dekat pintu keluar. Mata birunya memandang bukti yang berserakan di meja santai: buku kas dan catatan uang.
“Otis! Pajak adalah tanda kau menghormati berdirinya suatu negara! Kalau kau sampai berkencan dengan orang yang tak membayar pajak...,” Ava melangkah menuju jendela, dan membuka gorden lebar-lebar sehingga terlihat kepala gadis berjilbab dan yang berambut dicat, “Mom tak kan merestui,” simpulnya gampang.
“Oh, kau memandang rendah Maryam!? Maryam bukan imigran muslim yang datang dari negara bermasalah! Dia warganegara yang taat, dan yang terpenting dia membuatku bahagia... dia membuat semua tempat terasa seperti rumah!” Pemuda yang mengenakan kaos elastis warna coral dan celana pendek hitam itu memutar pegangan pintu.
“Bahkan Julian tak seaneh kau. Pergilah!” Otis melirik ibunya sekali lagi. Mengapa di dunia ini ia ditakdirkan menjadi anak dari seorang ibu yang seperti Ava...? Diam begitu ia merasakan pedih. Ia ingat wajah MJ ketika menunjukkan bayi Cassie. Sangat cantik apabila tersenyum tulus begitu.
“Uncle...” Sybil datang dan menarik pinggir kaos paman mudanya.
“Ya, Sibby?” tanya Otis dengan wajah lelah.
“Katakan tempat ini tetap rumahmu, dan kau merasa nyaman bersama kami...” Otis melirik pada Ava yang minum kopi pagi dalam mug favoritnya.
“Dengarkan, Sybil. Uncle akan mengatakan itu, tapi ketika di kamarku dan tak ada orang,” jawabnya dengan putus asa.
*
Pemuda dengan betis putih nan panjang itu menutup pintu bawah konsnya, baru kemudian menghadap siapa yang dari tadi menunggu. MJ sungguh cantik sekali. Penampilannya sudah bak model majalah Vogue. Dia mengenakan hijab krem yang melilit di leher, blazer hitam empat kancing di luar kaos putihnya, kemudian ia mengenakan celana loose jeans, dan sepatu kanvas putih. Sedangkan Ayanna mengenakan dres tutu polkadot hitam-putih, jas merah kebesaran, dan topi bucket.
“Aku mendengar seseorang membentak. Kau oke?” angguk gadis itu memastikan tak ada masalah di dalam sana.
“Oke. Btw, MJ. Kau tahu aku suka Emma Stone?” Rambut ash pemuda itu menghalus di bagian poni, dan wajahnya tampak rela.
MJ menarik blazernya ke bawah, dan ia bernapas sedalam-dalamnya. “Ahh, soal itu... kau tak sengaja memperlihatkan wallpaper laptopmu saat kerja tim.” Tak tahu itu cepat sekali, dan sepertinya gadis itu berkedip.
“Jadi bukan Ayan yang cerita?” tanya si pemuda jenjang berpakaian kasual. Ia membiarkan Ayanna jalan dahulu.
“Tidak, ia tak pernah cerita apa-apa tentangmu, kecuali hari itu ketika ia berpikir kau tampan.” MJ memulai jalan dengan terus memandang Otis. Ayanna tertawa ceria ketika sahabatnya bercerita.
“Halahh... kulit putih dan mata biru? Apa se-klise itu tipe cowok kalian?” Otis melangkahkan kaki lebih cepat, ia menoleh ke belakang pada dua teman gadisnya.
“Kami tak hidup bersama orang sepertimu, Otis. Kau pasti punya keturunan Skotlandia atau Inggris. Di apartemen paguyubanku hanya ada orang Arab,” kisah MJ.
“Mengapa masih ada apartemen yang memisah-misahkan seperti itu di zaman sekarang ini?” Otis memerhatikan seorang anak yang sangat jago bermain skateboard. Kemudian saat anak itu selesai dari pertunjukannya, ia ikut bertepuk tangan.
“Tidak tahu, ya. Kita tak sedang bicara tentang ‘ras’ lho, kita semua tahu tidak ada ras yang dipisahkan. Kita berbicara tentang keluarga besar atau akar. Nah, kami sekeluarga besar tinggal di sana.” Mereka sudah sampai pada perempatan distrik. Dan hanya tiga meter untuk memotong jalan dan menemukan Fulton Center.
“Di suatu masa yang memungkinkan, apa kau bisa pergi dari apertemen paguyuban itu? Ketika kau akan tinggal bersama suami misalnya?” Otis terus memimpin sedangkan ia tak tahu kalau MJ mengerti apa yang terselubung dari pertanyaannya. Bahwa Otis mengharapkan ia bakal jadi suami MJ.
“Suami pun—ha-ha-ha! Kita tak boleh bercerita sefrontal itu! Kapan sih sampai Fulton Center?” Cepatnya sang gadis berhijab itu mengalihkan topik membuat Otis sedikit kesal. Tetapi mereka harus beragak-agak karena hendak menyeberang jalan.
“Itu! Kita hanya butuh menyeberang! Satu, dua, tiga yuk lari...!!”
Padahal pengendara darat di New York lumayan teratur, dan tak pernah ada cerita seorang nenek bungkuk tertabrak mobil. Kecuali kalau pengendara mobil tersebut kurang berhati-hati. Namun selebihnya, mobil-mobil di jalanan New York berjalan dengan pelan dan tertata.
*
Setelah sampai di depan restoran pojok perempatan, dan di sekitar tangga bawah tanah menuju stasiun, MJ dan Ayanna baru menyadari tak ada pemuda rambut ash dan kaos coral itu. Ia berdiri sambil mencari-cari ke kanan dan kirinya, MJ sudah seperti ibu yang kehilangan putranya di antara keramaian.
“Otis!? Di mana Otis, Kawan?”