Perasaan bersalah dan perasaan kurang berguna kepada Otis membuat Maryam Jane tertekan. Dalam keadaan yang seperti itu malahan Maryam menemukan dirinya lebih pandai dan kritis. Di kelas Mr. Suchet ia jadi duduk sendiri, bermain pulpen, dan kegirangan saat mendapat soal matematika yang butuh pemikiran logis. Tentu itu membuat cemas temannya, Ayanna. Ia pun mengingatkan Maryam untuk berhenti seperti itu, dan mencoba menghadapi hal apa yang membuatnya tertekan.
Jawabannya mereka lihat ketika pulang sekolah, di lorong kampus, seorang pemuda jangkung dengan rambut asal potong yang dikembang-kembangkan, berjaket dan ransel hitam, celana jeans yang ujungnya berlipat—berwarna hitam pula, dan mengenakan sepatu boot. Itu dia, Otis yang sedang membuka lemari lokernya dan memasukkan buku paket ‘Principles of Macroeconomics’ karya Gregory Mankiw. Pemuda itu berbalik dari pintu loker, kemudian bersandar dan menegak ketika melihat dirinya, MJ beserta teman-temannya.
“Otis, aku mau bicara.” Dada gadis yang mengenakan tunik model apron itu berkembang-kempis. Pipinya yang putih pun merona. Otis memerhatikan Ayanna di belakang gadis itu yang berwajah tegang, serta Delphine dan Hope—teman-teman setimnya dulu.
“Otis! Tadi malam kau kekanak-kanakan. Dan mengapa aku belum mendengar permintaan maaf darimu!?” MJ merasa tak lebih baik setelah mengeluarkan emosi seperti itu. Sejak berangkat ke kampus pagi ini, bawaannya ingin marah saja. Belum cukup terapi yang dilakukan keluarganya setelah ia pulang malam dari Fulton dan bercerita.
“Aku minta maaf, MJ.” Dan tentu MJ meneliti raut wajah, olah tubuh, dan nada perkataan itu ketika diucapkan. Barulah ia bisa memejamkan mata, mengangguk seolah tahu betul, dan menjawab. “Aku pasti memaafkan orang, Otis. Mereka melakukan kesalahan sebagaimana diriku. Tapi kalau kau benar-benar ingin mendapat maaf dariku..., ada syaratnya,” tatap matanya intens.
“Maryam, jangan ngadi-ngadi, deh! Syarat apa??” keluh Ayanna di balik mereka. Delphine dan Hope memerhatikan mereka dan menduga-duga sendiri.
“Sshh. Berkunjunglah ke tempat tinggalku setelah kamu pulang ke konsmu. Ini alamatnya. Dah,” Otis mengamati kartu kecil yang diberikan MJ, sedangkan MJ membersihkan debu-debu yang menempel di baju serba hitam pemuda itu. “Bukan apa-apa, tenanglah... Keluargaku hanya ingin mengundangmu makan bersama... Nanti kalau berangkat hati-hati, ya? Kalau sudah sampai, kabari,” pintanya.
Maryam tersenyum simpul melihat Otis yang kebingungan dengan perubahan mood-nya barusan. ‘Asal kau mau belajar saja, Otis. Bahwa menjadi dewasa seutuhnya bukan berarti berubah menjadi kuat. Tetapi berubah lebih bisa mengendalikan dorongan perasaan.’ Maryam menghamburkan diri ke arah teman-temannya, menggandeng mereka, dan keluar dari gedung PTEF menuju jalan raya depan dengan sisa-sisa tawa.
*
Akhirnya Otis bisa keluar dari konsnya tanpa berdebat dengan Ava. Ia mandi dan bersiap dengan pakaian sopan. Saat ia keluar pintu bawah, angin laut menerobos ke badannya, rambut ash pemuda itu bergoyang-goyang, dan ia segera menaiki sepeda gratis. Pakaian yang ia gunakan saat ini cukup unik. Kemeja kotak-kotak flanel dengan warna dasar hijau teal, dengan garis-garis besar berwarna coklat muda. Untuk bawahan ia mengenakan jeans yang tidak rapat, yang berjahit garis di pinggir bagian celananya. Pemuda itu mengayuh sepeda melewati toko-toko cleanser, taman dengan tukang hotdog, sebuah bangunan bank besar, dan belok ke kiri tanpa pedal ke sebuah alamat.
Di tengah pembatas sungai Hudson dan vegetasi buatan yakni taman-taman, Otis menurunkan kecepatan sepedanya yang berjalan di atas tanah berpaving. Kemudian ia belok kiri, ke arah pepohonan Akasia yang rimbun, dan memarkirkan sepedanya di sekitar bundaran. Barulah pemuda tampan nan gugup itu menghampiri satpam untuk lapor kunjungan tamu. Yang terjadi selanjutnya, MJ datang dan mengajaknya masuk dengan sumringah. Saat itu suhu di New York 25° celsius, cukup terik, tapi tak masalah. Toh sebentar lagi mereka masuk ruangan.
MJ tak berhenti bercerita, sampai mereka menaiki tangga putih ke teras rumahnya. Tunik apron hitam yang dikenakan gadis itu menyempit saat ia melangkah pada anak tangga. Tubuh gadis itu kecil, tetapi juga panjang. Otis membuntuti MJ yang terus cerita, “Kesibukanku selama ini adalah mengurus priaku,” Otis memandang gadis itu bingung seolah mempercayainya, “Ini dia, Pumpkin. Kucing Oren. Pria itu kutemukan saat aku masih lima tahun.” ‘Oalah, MJ ... Kucing saja kau panggil pria,’ batinnya.
Mereka berdua sudah berada di teras tinggi yang dicat putih seperti warna tembok rumah MJ, dan rumah-rumah di sebelahnya. MJ melihat ke bawah, salah satu anggota keluarganya, seorang ibu bermuka Timur Tengah yang sedang menyiram bunga. “Itu Auntie-ku, Wardah. Omty! Kenalkan ini Otis...!”
“Hai, Tampan...” Wanita tinggi berhijab tak sempurna itu menggoda Otis dengan selang air di tangannya. Sementara di bawah kakinya dan sekelilingnya hanyalah rumput hijau.
Otis tersipu dan membalasnya, “Hai!” Setelah itu MJ membuka pintu depannya yang bercat juga, dan dorongan yang dibutuhkan untuk membuka pintu itu menjadi mudah karena ada yang hendak membuka pintu juga dari dalam. Saat wajah orang di dalam rumah itu terlihat, betapa besarnya orang itu. Mengingatkan Otis dengan Jalud dari Palestina. Muka pria itu lebar, rambutnya keriting hitam, di bagian mulutnya terdapat cambang yang tebal. Pria itu tersenyum malu-malu ketika melihat adiknya, MJ hendak masuk. “Eh, ada Bang Armin,” kenalkan MJ. Pria tinggi-besar itu berpermisi sebentar untuk membuang sampah kaleng di luar, “Apakah dia ‘cowok yang baca Salinger’ itu, Dik?”
‘Ya, tentu saja saya cowok, dan saya membaca Salinger,’ pikir Otis dalam hati. Ternyata pertanyaan Armin menunjukkan kalau ia dan adiknya sudah punya bahasan sendiri tentang Otis. Cara MJ merespon pertanyaan itu juga mencurigakan. Dia bilang, “Jangan membahas itu di depannya, ahhh.” Ia terlihat kesal yang dipura-pura. Kemudian terlihatlah isi rumah MJ seutuhnya. Mulai dari lantai kayu licin, jendela lebar dengan pemandangan Samudera Atlantik di sebelah Timur, tangga di samping jendela itu, kitchen set dari kayu yang lengkap dengan kompor, wastafel, laci, dan rak piring di belakang tangga. Serta sofa kulit abu-abu untuk dua orang yang berhadapan. Salah satu tempat di sofa itu yang menghadap ke Selatan diduduki seorang wanita berhijab putih, tua, dan terdapat lipatan di leher. Wanita itu sedang santai membaca Al-Qur’an, sambil menanti-nanti sesuatu di belakangnya seolah menunggu waktu habis mesin cuci.
Ternyata bukan mesin cuci yang ditunggu-tunggu wanita itu, tetapi makanan yang sedang ia masak di atas kompor. Wanita itu berdiri, meletakkan Al-Qur’an kecilnya dan mendapati anaknya dengan si tamu spesial. Wanita itu sangat gemuk, tapi wajahnya tak seperti orang Timur Tengah atau Asia manapun, tetapi Eropa. Di dahi wanita itu terlihat rambut yang disisir berwarna merah. Diteliti demikian oleh Otis, wanita itu menyambutnya.
“Selamat datang, Ananda... Bah! Temannya Maryam yang diundang sudah datang...! Ya Allah, maaf ya, Sayang..., makanannya belum siap.” Wanita itu buru-buru mengurusi masakannya di dapur.
MJ tiba-tiba berlari dan memunguti buku-buku novel yang berserakan di lantai kayu bawah jendela. Otis tahu itu semua tulisan Salinger. Rasanya lucu melihat MJ tergopoh dan kesulitan menyembunyikannya begitu. Setelah mengambil buku-buku itu, ia segera berizin naik ke kamarnya, dan turun lagi menuju dapur. Otis menggerakkan dirinya untuk melihat foto dalam pigura. Foto seorang anak TK, berambut merah dan menunjukkan bintang kertas di dada kirinya. Di bawah foto itu terdapat tulisan, ‘Maryam Jannah. Dagestan Kindergarten. Selamat atas kelulusanmu, semoga berhasil!’
Otis mengangguk-angguk saat melihat rambut merah anak TK di foto itu, dan ia membandingkan pada muka gadis yang kini sedang membantu ibunya memasak. MJ melemparkan candaan padanya. “Mengapa? Heran ya Abangku bisa sejelek itu, sedangkan aku cantik mirip Emma Stone?” Perkataan itu sontak dinasehati oleh Sang mama di kirinya, “Maryam... Bang Armin juga tampan lah...”
Otis menggigit bibir. Ada sesuatu yang ingin ia ketahui. “Nama aslimu Maryam Jan-nach?” Ia tak bisa sempurna membaca tulisan di foto berpigura itu. Maryam Jane tertawa sampai wajahnya terangkat-angkat, tetapi matanya tetap pada Otis yang masih di samping pintu. Melihat itu, Otis juga tertular tawanya.
“HA-HA-HA-HA!” Mata Otis jadi sipit, dan mereka saling pandang dengan jarak enam meter itu—sepanjang rumahnya.
Maryam jadi bersemangat membesarkan guyonannya. “Dengar, Otis. Dengar.” Ia mengelap piring putih di tangannya dengan serbet, dan berusaha menyetop Otis yang tertawa hampir gila.
“HA-HA-HA-HA!” Tapi sayangnya pemuda itu tak berhenti.
“Dengar, Otis. Jika Anda memiliki seorang putri bernama ‘Jeanette’, hey, dengarkan... Jika Anda memiliki seorang putri bernama ‘Jeanette’...,” ia terdiam sejenak, memejamkan mata, dan terkikik, “apakah Anda akan memanggilnya dengan Jane? Bukankah itu terdengar mirip dengan Jannah?” Suasana jadi konyol semua, MJ tertawa hampir menangis karena itu.