Tepian Berbeda

Hilwa Taqiyya
Chapter #6

Tepian Berakhir: Mimpi Maryam Jane

Penggalan kisah ini berlokasi pada sebuah tempat jalan sore bernama Battery Park. Battery Park adalah taman raya yang terletak di ujung Utara New York City. Kalau dilihat dari langit, tempat itu seperti hutan terbelah yang berbentuk bundar tak sempurna. Di antara taman samping kanan dan kiri terdapat jalan aspal yang menyambung pada jalan umum di depan pagar pembatas lautan. Pengunjung yang datang ke sana bisa menikmati pemandangan pelabuhan dan kapal feri yang tak sepi penumpang. Inti tamannya sendiri berada di dua kotak taman (kanan dan kiri) dari yang beralas rumput gajah yang hijau basah. 

Sejak Otis mengabulkan undangannya malam itu, Falah Alaoudin meminta putrinya untuk memilah orang-orang tertentu yang boleh diajak berkumpul dengannya. Orang-orang itu adalah anggota komunitas paguyuban yang seusianya. Kali ini mereka berkumpul karena ingin berlibur bersama. Mereka duduk melingkar, MJ di sebelah Utara menghadap temannya—Zara, dan rimbun pepohonan serta jalanan samping pagar. Di samping kanan gadis berhijab itu ada Ayanna, dan di samping kirinya ada Salamah. Suasana sangat intens karena saling membahas sosok ayah masing-masing di hidup empat orang Bestie itu.

“Ayahku dan aku tak begitu dekat. Aneh rasanya kalau ayah menciumku di dahi.” Pipi Zara memerah saat mengatakan itu.

“Ooh, namanya juga tak begitu dekat. Tapi apa yang lain juga begitu?” MJ menoleh pada Salamah di samping Zara.

“Kalau dulu waktu kecil, ayahku selalu membuatku seperti seorang putri. Ayah menuruti keinginanku, mengajakku pergi ke sebuah rapat besar di gedung Victoria yang mewah.” Giliran Salamah yang berbicara. Dari empat orang Bestie itu, dialah yang memakai hijab paling panjang, warna pink, dan bersuara sopan.

“Masya Allah, Salamah... Beruntungnya dirimu. Kalau kita bagaimana dulu, Ayan?” Ayanna mendesah saat keadaan membuatnya harus berbicara. Pasti batinnya, ‘Mary ini bagaimana sih? Tidak cukup apa pembahasan kita saat di apartemen?’ MJ tetap menunggu sampai temannya itu bercerita.

“Babanya Mary dan Babaku menumpangi satu kapal saat berangkat pertama kali dari Sinai ke Ellis Island,” ungkap gadis berambut warna violet campur hitam itu. 

“Tapi katanya kamu asal Turki?” Salamah menunjuk jarinya ke bawah gadis itu.

“Iya, sewaktu itu Baba lagi kerja di Suriah. Kalau hari libur begini, Babaku yang lebih sering mengajak Mary dan aku ke pertunjukan... Pernah ke acara sulapnya orang Yahudi, terus waktu pulang Mary diomelin Pak Alaoudin. Katanya, ‘itu haram, kafir itu,’ Yah, intinya kalau bersenang-senang Mary dan aku larinya pada Baba. Tapi kalau mau belajar mengaji dan salat, kami perginya ke Babanya MJ.” MJ mengiyakan cerita Ayanna. Temannya itu bercerita sedikit saja sudah gugup minta ampun.

“Baba kalau sama orang luar memang keras banget. Tapi keinginan mutlaknya adalah menjaga Bang Armin dan aku. Itu saja. Baba punya banyak pengalaman, karena dulu ia pindah ke New York bukan karena alasan penat-pindah belaka.” Gadis itu membuka bungkus snack dan menggesernya di tengah-tengah mereka.

“Wah, apa kau tahu betapa besarnya cintanya padamu, Mary?” Dari mulut MJ muncul senyum simpul. ‘Aku pernah bertanya-tanya soal eksistensi cinta kedua orang tuaku. Ketika aku tak kuat lagi memikirkannya, aku menyusun pertanyaan.’

“Ohh, tahu. Kalian mau dengar?” Wajah gadis itu mendekat pada wajah teman-temannya yang serius. “Pasti kalian akan takjub mendengarnya. Begini, aku pernah iseng bertanya pada Baba. ‘Bah, bisakah kamu menjelaskan betapa besar cintamu padaku dalam kata-kata?’ Pertama aku kira dia tidak bisa menjawab. Tapi dia menjawab, dia bilang: Maryam Cintaku, jikalau kamu jatuh dari skycapper paling tinggi yang ada di Manhattan, Baba akan jatuh untukmu juga, untuk melindungimu, agar apabila kamu jatuh, Sayang. Kau tak akan menghancurkan tulang-tulangmu. Aku menangis, ha-ha-ha! Menyesal. Tak mau lagi bertanya sesuatu seperti itu. No!” Maryam Jane bergidik.

“Ya Allah... Betapa mengharukannya kisahmu itu!” Zara mengelus kakinya ke bawah dengan rengekan. Salamah membuka mulutnya dengan buku catatan di pangkuannya.

Mata MJ menyipit miris, dan mengangguk pada Zara. “Yeah, tentu... Ayahku.” 

Setelah suasana mereka berempat menjadi hening, dan MJ malas membuyarkan kesunyian itu. Gadis bermantel krem dan hijab pashmina putih itu mengamati pohon tinggi. Kemarin malam ia menonton Drakor yang membuatnya sentimen lebih dari apapun. Dan kisahnya tentang seorang wanita dari Korsel yang terjebak di atas pohon seperti di depannya itu, dan jatuh di pelukan tentara Korut. Ia membayangkan kalau wanita dari Korsel itu dirinya, dan tentara Korut yang kaku itu adalah Otis.

“Jangan melihat ke arah sana, Mary,” kejut Ayanna tiba-tiba. MJ menarik napas dan melirik raut temannya. 

“Mengapa, Ayan?”

“Kalau kau melihatnya. Janji kau tidak datang ke sana?” MJ terdiam. Hal apa yang dilihat Ayanna dan yang tidak dilihat olehnya? Mata kecoklatannya berterbangan cepat pada jalan di depan. Tak ada, tak ada. Hanya para pengunjung, kursi taman, penjual lukisan—dan seorang pemuda mengenakan jaket wol toska dan celana bisnis abu-abu.

“Otis! Otis!” Maryam mengangkat tubuhnya dan terus memandang Otis yang sedang menawarkan kanvas besar pada penjual lukisan di pinggir pembatas laut.

“Mary, kumohon. Pikirkan tentang nasihat Pak Alaoudin yang kau ceritakan padaku—kau tak boleh menemuinya.” Ayanna berkata dengan sungguh-sungguh, dan menarik kepalanya ke belakang saat selesai berbicara. Salamah dan Zara mendangak melihat kedua temannya bersiaga.

“Ayan.. kau tahu apa yang aku rasakan.” MJ memegang kedua lengan Ayanna, dan menunjukkan perasaan yang tersirat dari raut mukanya tanpa bicara sedikitpun.

“Kerinduan—”

Kelopak mata MJ menaik. “Betul. Alhamdulillah.” MJ mencari di mana letak sepatunya, pergi untuk memakainya dan bersiap pergi.

“Tapi ini baru seminggu, Mary...! Apa kamu berani berbuat maksiat lagi!?” Gadis itu masih berdiri di atas kain piknik, berbeda dengan temannya yang sudah menginjak rumput gajah.

“Tidak bersentuhan kulit, Ayan. Aku janji.”

“Mary! Dengarkan dulu!”

Lihat selengkapnya