Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #2

Chapter 2

Pagi yang ramai di gerbang SMPN 1 Hulu Mahakam pukul 7.05.

Kegelisahan mulai memburu anak-anak yang terburu waktu untuk segera tiba di sekolah. Walau setiap hari mereka selalu bersekolah dengan waktu yang sama, namun hari senin selalu saja terasa berbeda.

Mungkin karena hari ini tiba setelah libur di hari minggu, suasana liburan yang hanya sehari belum menguap sepenuhnya. Mungkin juga kerena di hari ini diadakan upacara bendera.

Di hari senin ini, cuaca cerah di pagi hari seringkali tak dapat disyukuri. Para siswa berdoa agar turunnya hujan bahkan sepanjang malam mereka terus berharap hujan turun walau hanya sebentar di pagi hari agar upacara bendera tidak bisa dilaksanakan.

Dengan begitu bolehlah mereka sedikit bersantai lebih lama karena jam pelajaran pertama baru akan dimulai setelah jam upacara bendera usai.

Dahulu bahkan sebuah hujan deras di hari minggu atau di minggu malam pun sudah cukup untuk membuat para siswa bersorak kegirangan di pagi harinya. Itu dikarenakan dahulu halaman sekolah masih berupa lapangan tanah dengan rumput tipis di atasnya yang akan becek jika diguyur hujan deras meski hanya sebentar.

Sekarang lapangan itu sudah dibuat permanen dengan lapisan semen di atasnya. Sehingga walaupun hujan baru berhenti sesaat sebelum upacara bendera dimulai maka kegiatan wajib itu akan tetap diadakan. Pun apabila hujan berhenti disaat masih ada waktu yang cukup untuk melaksanakan upacara, meski hanya sebentar akan tetap dilaksanakan. Keadaan yang pastinya membuat patah hati para siswa.

Wajah Pak Sigit, penjaga sekolah, berdiri di sisi kanan gerbang sekolah. Di sisi yang lain terdapat Bambang, guru mata pelajaran PKn yang juga pembina OSIS tampak ikut berjaga memastikan semua siswa telah memasuki gerbang sekolah sebelum gerbang ditutup.

Para siswa yang menaiki sepeda motor menarik gasnya agak dalam dan melewati gerbang sekolah dengan cepat.

Bambang berjalan ke sisi Pak Sigit lalu berdiri di sampingnya, tampak gelisah.

“Saya sebenarnya tidak terlalu setuju apabila para siswa berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor,” Bambang memulai percakapan dengan mengungkap apa yang berada dalam benaknya.

Pak Sigit masih serius menatapi siswa-siswa yang berlalu melewati gerbang sekolah, jumlahnya sudah berkurang, tapi yang datang belakangan terlihat semakin terburu-buru.

Sebentar lagi waktunya untuk menutup gerbang. Siswa yang terlambat tidak akan diizinkan masuk.

“Sekarang mayoritas sudah naik sepeda motor, padahal tidak satupun dari mereka memiliki SIM.”

“Inikan di kampung pak, tidak perlu pakai SIM.” Pak Sigit akhirnya menanggapi.

“Kampung atau kota kan sama saja pak, peraturan ya tetap peraturan.”

“Disinikan tidak ada razia polisi. Lagipula kalau mereka tidak naik motor, mau ke sekolahnya pakai apa? Iya kalau orang tuanya atau ada keluarga yang mengantar. ”

“Dulu itu anak-anak cuma jalan kaki atau naik sepeda ke sekolah.” Sanggah Bambang.

“Itu kan dulu pak. Sekarang zaman sudah berubah. Sudah maju dan canggih.”

Lihat selengkapnya