Bambang sudah bercita-cita menjadi seorang guru semenjak kecil. Dia terinsipirasi oleh ibunya yang merupakan seorang guru ngaji.
Dulu ibunya yang mengajar anak-anak sekitar rumahnya sehabis zuhur dan maghrib di rumah, telah dianggap berhasil mendidik anak-anak kampung mereka sehingga bisa mengaji dan memiliki moral yang baik. Sejak kecil Bambang dibesarkan dengan nilai-nilai agama dari sang ibu dan disiplin tinggi dari ayahnya yang merupakan kepala hansip desa.
Di kampung yang terletak di hulu Sungai Mahakam ini, dulunya hanya ada satu sekolah dasar. Karenanya bagi anak-anak yang ingin mendapatkan pendidikan lebih tinggi, mereka harus keluar dari kampung untuk bersekolah. Paling dekat adalah di Kota Tenggarong, ibukota kabupaten, disana terdapat SMP dan juga SMA meskipun saat itu belum terdapat perguruan tinggi.
Itupun kalau mereka memiliki biaya dan kemauan untuk belajar di sana. Saat itu kebanyakan anak-anak kampung seangkatan Bambang mencukupkan diri hanya dengan bersekolah dasar. Setelahnya mereka akan membantu orang tuanya untuk bekerja ataupun yang masih memiliki semangat menuntut ilmu akan memperdalamnya dengan belajar pada ustadz kampung yang membuka pengajian di rumahnya.
“Bambang, kau ingin menjadi apa nantinya?” Tanya ayahnya ketika Bambang hampir menamatkan bangku sekolah dasar.
“Astronot, aku ingin menjadi seorang astronot.”
“Kau bukan anak kecil lagi!” bentak ayahnya. “Bukan saatnya lagi kau bermimpi yang muluk-muluk. Kau harus memiliki cita-cita nyata yang bisa kau raih. Jangan banyak bermimpi.”
Karena kaget dan takut, Bambang terdiam cukup lama. Selama ini cita-citanya memang selalu berubah. Dulu dia pernah mengatakan ingin menjadi pilot ketika melihat pesawat melintas di atas langit kampungnya. Kemudian dia juga pernah berkata ingin menjadi seorang tentara saat adanya kegiatan ABRI masuk desa. Lalu dia juga pernah ingin menjadi polisi sewaktu tetangganya ada yang kemalingan.
“Guru,” kata Bambang kemudian dengan takut-takut.
“Kenapa kau ingin menjadi guru?”
“Aku ingin menjadi seperti ibu, dihormati banyak orang dan memiliki banyak murid.”
Kali ini sepertinya ayahnya bisa menerima jawaban Bambang.
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya, Bambang kemudian diantar ayahnya untuk bersekolah di Tenggarong. Disana Bambang dititipkan untuk tinggal di rumah kenalan ayahnya yang dipanggilnya Paman Imuh. Dia berprofesi sebagai seorang guru sekolah dasar dan tinggal bersama istri dan 3 orang anaknya.
Memang benar, bahwa ini adalah keinginan Bambang sendiri untuk melanjutkan sekolahnya. Hanya saja dia tidak pernah menyangka bahwa akan berpisah dengan orang tuanya.
Berlinang air mata Bambang kecil ketika ayahnya meninggalkannya seorang diri di rumah orang yang belum pernah dia jumpai sebelumnya.
“Ayah, aku ingin ikut pulang.” Bambang merengek. “Aku mau ketemu ibu.”
Namun ayahnya bergeming dan meninggalkan Bambang tanpa menoleh ke belakang saat menaiki kapal yang mengangkutnya kembali ke kampung Hulu Mahakam.
Tenggarong di masa lalu bukanlah kota seperti sekarang ini. Di sana sini masih banyak lahan kosong yang ditumbuhi oleh pepohonan dan ladang ilalang. Hampir sama seperti kampungnya, hanya saja lebih besar dan lebih banyak orang yang berlalu lalang dengan jalanan aspal yang lebih bagus.
Tinggal di rumah orang lain berarti Bambang harus menjaga sikapnya dengan baik. Lebih penting lagi adalah dirinya harus peka dalam membantu pekerjaan rumah tanpa harus diminta.
Bambang tahu, tinggal secara gratis di rumah orang berarti dirinya harus memberikan timbal balik yang sesuai. Sejak sebelum subuh Bambang sudah bangun untuk membantu mengambil air dari Sungai Mahakam. Dinginnya udara pagi membuat tubuhnya menggigil namun untungnya kebiasaan ini sudah sering dilakukannya di rumah bersama ayahnya yang sangat disiplin mendidiknya menjadi anak yang mandiri.
Saat itu untuk mendapatkan air bersih, orang-orang harus turun ke Sungai Mahakam untuk mengambilnya. Bahkan kegiatan mandi dan mencuci semuanya dilakukan langsung di jamban-jamban yang berjejer di sepanjang bantaran sungai. Meski di Tenggarong sudah ada perusahaan air minum yang menyediakan air bersih namun tidak semua orang mampu menyambungnya.
“Bambang, kamu tidak usah terlalu banyak mengambil airnya, secukupnya saja.” Kata Paman Imuh, entah dia benar-benar tidak enak kepada Bambang atau hanya sekadar basabasi, yang pasti wajahnya tampak sangat semringah melihat Bambang yang selalu rajin setiap harinya.
Apalagi jawaban Bambang adalah “tidak apa-apa” atau dia sudah biasa melakukan ini di rumahnya. Paman Imuh menjadikan Bambang sebagai contoh bagi anak-anaknya yang tidak terpaut jauh usianya dari Bambang saat menasihati mereka.