Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #4

Chapter 4

Suasana sekolah tampak sangat heboh, para siswa berlari kesana kemari. Namun semuanya segera berubah ketika guru mereka terlihat dan masuk ke ruang kelas. Siswa-siswi yang sebelumnya tampak seperti akan sangat susah untuk diatur, tiba-tiba berubah menjadi anak yang penurut.

Bambang tidak berada di sekolahnya, melainkan di SDN 008 tempat Paman Imuh mengajar. Tapi bukan berarti pula Bambang bolos sekolah untuk berada disini, melainkan dia berada disini sepulang sekolah. Sedangkan anak-anak SD yang berada disini sedang mengikuti kegiatan pelajaran tambahan.

Pagi tadi Paman Imuh tiba-tiba mengajaknya untuk ke sekolahnya sepulang sekolah. Selama 3 tahun lebih tinggal bersama Paman Imuh, Bambang memang beberapa kali mendatangi sekolah Paman Imuh, tapi kali ini adalah yang pertama baginya untuk berinteraksi secara langsung dengan para siswa.

“Kau mau mencoba mengajar mereka?”

Bambang menggeleng tidak merasa dirinya telah siap.

“Apa yang kau takutkan? Mereka adalah anak-anak yang baik.” Kata Paman Imuh sambil tertawa.

Setelah melihat bagaimana hebohnya anak-anak tadi, Bambang tidak bisa sependapat dengan pamannya itu. Namun anehnya setelah beberapa lama pamannya mengajarkan beberapa materi pelajaran, tidak ada keributan yang terjadi.

Dalam pikiran Bambang terlintas bayangan bahwa Paman Imuh yang tampak selalu ramah dan murah senyum itu adalah sosok guru yang menakutkan bagi siswa-siswinya. Namun Bambang kemudian tersadar, bahwa 4 tahun yang lalu dirinya pun merupakan siswa SD seperti anak-anak ini.

Dia dan teman-temannya akan menjadi anak manis yang penurut ketika berhadapan dengan para gurunya. Bahkan sikap “pembangkangan” mereka mungkin hanyalah ketika mereka berusaha menghindari guru mereka agar tidak berpapasan di jalan yang sama padahal apabilapun akhirnya berpapasan sang guru lebih sering bersikap ramah.

Hal yang dirasanya tidak ramah hanyalah apabilah ditanya sudah belajar atau sudah mengerjakan PR atau belum?

Tanpa sadar Bambang tersenyum sendiri.

Sore hari itu dia memperhatikan bagaimana Paman Imuh mengajar di kelas. Meski suasananya lebih santai dibandingkan kelas pagi, namun kentara sekali kalau Paman Imuh sangat bisa mengendalikan kelasnya dengan baik.

“Bagaimana rasanya di kelas bukan sebagai siswa?” Tanya Paman Imuh dalam perjalanan pulang.

Mereka berjalan kaki menyusuri jalanan yang lengang, hanya terdapat beberapa sepada motor dan satu dua mobil yang lalu lalang.

“Sepertinya menyenangkan untuk mengajar anak-anak kalau tahu caranya,” kata Bambang sambil melempar pandangannya pada Sungai Mahakam yang tenang. Matahari sore membuat airnya berkilauan kekuning-kuningan.

“Itulah sebabnya kau bersekolah di SPG.”

Bambang hanya bergumam tidak jelas namun sepertinya dia mengiyakan.

Matahari semakin tenggelam, sepertinya mereka akan tiba di rumah menjelang petang. Sebenarnya baik Bambang maupun Paman Imuh, masing-masing memiliki sepeda, namun ketika berangkat tadi Paman Imuh mengajaknya untuk berjalan kaki. Bambang tidak keberatan karena jarak sekolahnya memang tidak terlalu jauh. Tapi dia tidak menyangka kalau mereka akan berada di sekolah hingga larut sore seperti ini.

Tidak pernah dia di sekolah merasakan begitu tidak terasanya waktu. Seringkali ketika belajar dia ingin cepat-cepat istirahat atau cepat-cepat pulang. Apalagi ketika harus dihadapkan pada seorang guru yang begitu membosankan atau menakutkan. Maka waktu terasa begitu lambat merayap. Setiap detiknya begitu menyiksa.

Tapi kelas Paman Imuh terasa berbeda.

Ah mungkin karena aku bukanlah siswanya, pikir Bambang.

Lihat selengkapnya