Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #5

Chapter 5

Jam pelajaran pertama akan segera dimulai.

Entah sudah disepakati ataukah karena kebiasaan, hari senin sepertinya hari untuk mata pelajaran PKn dan Agama. Hal ini pun sampai terus berlanjut pada ulangan semester hingga ujian nasional, dimana hari pertama soal-soal yang dihadapi para siswa adalah soal tentang Agama dan Pendidikan Kewarganegaraaan.

Bambang berjalan menuju kelas IXA dengan membawa penggaris kayu sepanjang satu meter yang menjadi ciri khasnya. Benturan antara penggaris yang digunakan seperti tongkat dan lantai membuat suara ketukan yang berirama seiring langkah pastinya.

Penggaris kayu digunakannya untuk menunjuk tulisan di papan tulis. Selain berguna juga sebagai ancaman bagi para siswa untuk selalu disiplin saat berada di dalam kelasnya. Dia membawa penggaris kayu bukan untuk menyakiti siswa melainkan memastikan bahwa tidak ada siswa yang merasakan kerasnya penggaris tersebut.

Demi melihat Pak Bambang, para siswa yang masih bersantai di luar kelas segera berlari masuk ke dalam. Kedisiplinan Bambang, terutama soal waktu, membuat para siswa tidak bisa bersantai sehabis menjalani upacara bendera yang melelahkan.

Dari kelas yang Bambang tuju, seeorang siswa yang sepertinya bertugas untuk berjaga-jaga mengintip di depan pintu kelas, segera menghilang dari daun pintu. Dia pasti segera memberitahukan kedatangan sang guru pada teman-temannya. Ketika Bambang sudah berada di ambang pintu kelas, suasana kelas sudah tenang dan rapi.

Siswa-siswa kelas lain yang masih santai karena gurunya belum datang, memandang dengan penuh ejek.

Setelah Bambang duduk di belakang meja guru, ketua kelas segera memberi aba-aba untuk mengucapkan salam dan memimpin berdoa dimulainya pelajaran. Semuanya berjalan dengan tertib dan khidmat karena sebagai siswa tahun terakhir, mereka sudah sangat mengenal watak sang guru yang sangat disiplin.

Satu persatu nama siswa yang terdapat di buku absen dipanggil olehnya untuk memastikan mereka hadir di kelas. Lalu seperti kebiasaannya, secara acak akan ada seorang siswa yang ditunjuk untuk melafazkan pancasila.

Namun suara gaduh justru terdengar dari luar kelas. Siswa-siswa kelas sebelah yang gurunya belum datang ramai keluar kelas bahkan ada yang sampai berani untuk kembali jajan ke kantin.

Situasi yang membuat sebagian siswa kelas Bambang merasa iri.

Bambang duduk dengan berwibawa di belakang meja guru berhadapan dengan para siswanya yang bergerak dengan kaku. Mereka berusaha tidak membuat keributan yang akan menimbulkan teguran dari sang guru.

“Tidak usah lirik-lirik keluar.” Kata Bambang yang sangat mengerti kegelisahan para siswanya. Dia memegang penggaris kayunya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sibuk membolak-balik halaman buku paket untuk mencari materi yang akan diajarkannya hari ini.

“Kalian harus tetap konsentrasi di dalam kelas, jangan biarkan suasana di luar mengganggu kalian,” kali ini sang guru berkata sambil mengedarkan pandangannya ke seisi kelas.

Di luar memang terdengar semakin gaduh, sepertinya guru yang seharusnya mengajar tidak masuk. Seharusnya ada seorang guru piket yang siaga menggantikan kalau-kalau seandainya guru yang telah dijadwalkan berhalangan hadir.

Namun di sekolah ini sendiri mengalami kekurangan guru.

“Tutup pintu!” suara Bambang terdengar tegas.

Meski tidak menunjuk seorang siswa secara khusus, namun dengan cepat siswi yang berada paling dekat dengan pintu bergerak untuk menutup dua belah daun pintu sehingga suara dari luar kelas sedikit berkurang walaupun masih jelas terdengar.

“Hari ini kita akan belajar tentang Bela Negara. Ada yang tahu apa itu Bela Negara?”

Sunyi senyap di dalam kelas begitu kontras dengan di luar sana. Semua siswa diam sambil menyembunyikan kepalanya. Ada yang berusaha mencari jawaban dengan membolak-balik buku paket yang dimilikinya, namun nyatanya itu juga sebagian digunakan sebagai alasan agar tidak ditunjuk untuk menjawab.

“Saya pak.”

Seorang siswi di deretan kursi paling depan segera mengacungkan jari telunjuknya untuk menjawab. Rita sang juara kelas memang terkenal rajin dan pandai. Dia juga sepertinya sangat percaya diri dan memiliki jiwa untuk berkompetisi menjadi yang terbaik di antara yang lainnya. Begitulah penilaian Bambang terhadapnya setelah hampir 3 tahun ini mengajarnya.

Tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap pelajaran. Tahun lalu Rita berada di kelas unggulan. Sebelum ini sekolah menetapkan kebijakan untuk menggabungkan seluruh siswa yang memiliki nilai akademik tinggi ke dalam satu kelas yang terdiri dari kelas A dan B. Sedangkan kelas C, D dan E adalah merupakan sisanya.

Mereka diurutkan berdasarkan nilai akademik masing-masing sewaktu mendaftar ke sekolah ini.

Pada tahun ajaran ini, sistem tersebut ditiadakan dan seluruh siswa tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan kemampuan akademiknya untuk menentukan pembagian kelas. Sehingga tidak ada lagi istilah kelas elit dan kelas buangan.

Bambang tidak bisa memilih sistem pembagian kelas seperti apa yang lebih baik. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Tugas seorang guru adalah mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada setiap siswa dengan baik itu yang diyakininya.

Dia harus memberikan perhatian lebih kepada siswa yang memiliki nilai di bawah rata-rata. Meski pelajaran PKn bukanlah pelajaran yang diujikan secara nasional untuk menentukan kelulusan, namun dia berkeyakinan bahwa seluruh mata pelajaran itu penting, terutama mata pelajaran yang diajarkannya ini.

Tidak ada guru yang mengajarkan sesuatu yang tidak berguna di dalam kelas.

“Ada yang lain?” Pancing Bambang kepada siswa yang lainnya.

Perlu waktu beberapa saat untuk kembali ada yang mengangkat tangan meski hanya satu orang siswa lainnya. Bambang mendengus keras, dia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas, memberi isyarat agar siswa lainnya juga unjuk jari.

Dua siswa yang sudah mengacungkan jarinya memang merupakan siswa yang terkenal pandai di dalam kelas. Mereka selalu mendapat peringkat tertinggi secara bergantian sehingga membuat Bambang kali ini menginginkan siswa lainnya untuk unjuk gigi.

“Jaka!” Suara Bambang membuat siswa yang dipanggil namanya terkaget-kaget. “Apa jawabannya?”

Jaka yang sedari tadi sibuk melirik-lirik teman-temannya sambil berharap ada yang mengacungkan jarinya, kini dengan gugup membolak-balik halaman buku paket di depannya. Dia berusaha keras menemukan jawaban yang diinginkan sang guru, namun hasilnya nihil.

“Nunun!” tak sabar menunggu, Bambang menunjuk siswa lainnya.

“Bela Negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga Negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi pada kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi warga Negara Indonesia, upaya pembelaan Negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air Indonesia dan kesadaran berbangsa, bernegara dengan keyakinan pada pancasila sebagai dasar Negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstritusi Negara.” Jawab Nunun membacakan penjelasan yang tertera pada buku paket.

“Kalian hafalkan itu dan pahami, ini akan keluar pada saat ulangan nanti.”

Beberapa siswa segera bertindak dengan mencatat atau memberi tanda pada buku paketnya masing-masing, namun lebih banyak siswa lainnya mengabaikan peringatan gurunya itu.

“Kalau kalian tidak paham apa itu Bela Negara, kalian tidak akan bisa menjadi pahlawan bagi bangsa ini.”

Tidak ada tanggapan, kelas menjadi hening sehingga suara-suara dari luar kembali nyaring terdengar. Bambang bangkit dari kursinya dan menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Para siswa sigap menyalin setiap tulisan yang dibuat oleh Bambang sebelum sang guru menghapus tulisannya untuk menuliskan materi baru yang lainnya.

Lihat selengkapnya