Suara gaduh para sipir membangunkannya.
Matanya masih sangat berat karena tidur yang tidak nyaman. Ia menggeretakkan sendi-sendinya yang ngilu, terasa sedikit sakit. Kakinya yang kesemutan hampir tidak bisa merasakan apa-apa, diurutnya pelan untuk kembali mengalirkan darah dalam pembuluh.
Ia harus segera bisa bangkit berdiri. Suara-suara sipir itu berarti juga alarm pukul 6 pagi bagi para tahanan.
Meski ia sudah terbiasa bangun pagi, namun di sini rasanya lebih berat. Hampir-hampir ia tidak dapat tidur kalau bukan karena rasa letih yang teramat sangat memeluknya dalam lelap yang hanya sekejap.
Letih yang bukan hanya diakibatkan oleh fisiknya yang bekerja atau usianya yang memang sudah senja. Namun lebih banyak karena beban pikirannya yang jauh melanglangbuana ke sana kemari tanpa henti.
Namun dalam keadaan seperti ini ia masih bisa merasa beruntung karena di dalam kamar tahanan yang lain penghuninya bisa mencapai jumlah 40 orang. Bahkan di kamar isolasi ia mendengar bahwa satu kamar bisa diisi hingga 100 tahanan. Sesuatu yang tidak bisa dibayangkannya melihat di ruangannya sendiri keadaan sudah sedemikian sesak.
Rutinitas pertama kali bagi para tahanan selepas bangun adalah apel pagi untuk menghitung jumlah mereka.
Ia teringat dulu tidak pernah luput untuk upacara bendera setiap hari senin di sekolah. Upacara wajib yang menjadi agenda rutin setiap minggunya, ia bahkan beberapa kali menjadi pembina upacara.