Walau sudah mengatakan kalau besok baru akan mengirimkan uang kepada Nency, tapi malam itu juga Bambang mendatangi salah satu toko yang bermitra dengan bank di dekat rumahnya. Melalui kemitraan itu, transaksi seperti penarikan uang dan transfer bisa dilakukan melalui toko tersebut tanpa harus menunggu besok pagi saat kantor pos buka.
Di kampung halamannya ini belum ada bank yang membuka kantor cabang.
Terima kasih kepada kemajuan teknologi dan pembangunan, sehingga sekarang ini kiriman untuk anak-anak yang berada di seberang pulau sana bisa diantarkan saat itu juga. Sungguh jauh berbeda dengan semasa Bambang bersekolah dulu. Meski masih dalam satu kabupaten, Bambang harus menunggu cukup lama untuk kedatangan kiriman dari orang tuanya yang dititipkan melalui kapal.
“Nency. Ayah sudah transfer uang untukmu. Apakah sudah masuk?”
“Sudah yah, tadi ada sms notifikasinya,” jawab Nency dari seberang telepon sana. “Kelebihan.” Sambungnya lagi, itu bukanlah sebuah keluhan karena suaranya terdengar riang.
“Bukan berarti bisa kamu pakai seenaknya. Itu buat jaga-jaga kalau sekiranya kamu ada perlu mendadak.”
“Baik Yah, terima kasih.”
Selanjutnya sambil berjalan kembali ke rumah, pembicaraan mereka berlanjut seputar kabar masing-masing.
“Ingat untuk tetap fokus saja dengan kuliahmu jangan kepikiran yang macam-macam.” Nasihat yang sering Bambang ulang-ulang kepada anak-anaknya.
“Macam-macam bagaimana?” elak Nency dengan tertawa.
“Misalnya kalau kau ingin menikah.”
Suara tawa Nency makin nyaring terdengar dari seberang sana. Dia mengelak dengan alasan baru saja masuk tahun kedua kuliah dan pikiran untuk menikah masih jauh dari angan-angannya.
“Bagaimana kalau pacar?”
Nency tidak menjawab.
“Kamu harus menjaga pergaulan dengan baik.” Bambang menjeda sebentar untuk mengatur kalimat berikutnya, “Bukan berarti ayah melarangmu berhubungan dengan laki-laki, namun jika tidak serius, belum akan menikah, sebaiknya kamu tidak usah lebih dari teman.”
Kali ini Nency kembali tertawa.