Tahun-tahun berlalu, masa Bambang untuk tinggal bersama dengan keluarga Paman Imuh akhirnya menemui ujungnya. Banyak suka duka yang dialaminya selama tinggal di rumah orang, jauh dari kampung halaman dan berpisah dari orang tuanya.
Setelah memasuki tahun-tahun terakhirnya, Bambang mulai mengurangi kepulangannya ke kampung halaman. Jika pada awalnya dia bisa pulang 2 kali dalam setahun. Menginjak tahun keempat merantau, dia hanya pulang sekali dalam setahun bahkan pada tahun terakhir masa sekolahnya, Bambang pernah tidak pulang sama sekali dalam setahun penuh.
Bukan karena dirinya tidak lagi rindu akan kampung halaman, bukan pula karena pudarnya rasa sayang kepada orang tua ataupun karena sudah demikian kerasan tinggal di rumah orang. Melainkan itu semua karena janji yang dia buat untuk terus mengejar cita-citanya menjadi guru yang baik seperti ibunya.
Pada tahun kelima Bambang merantau menuntut ilmu, ibunya meninggal dunia. Kabar duka yang datang secara tiba-tiba. Padahal ibunya masih sehat-sehat saja saat terakhir kali mereka berjumpa.
Pemakaman dilangsungkan tanpa kehadiran Bambang. Sarana transportasi sungai yang ada tidak bisa mengantarnya dengan cepat ke kampung. Sehingga apa yang didapatinya hanyalah gundukan tanah basah dengan taburan bunga yang mulai layu di atasnya. Batu nisan, meski bertuliskan nama ibunya tetap saja membisu membiarkan Bambang dalam duka laranya.
Hanya sepucuk surat peninggalan sang ibu sebagai penguat baginya. Sebuah pesan agar dirinya terus menuntut ilmu dan mewujudkan cita-citanya agar bisa menjadi amal jariyah bagi sang ibunda di alam sana.
“Sekarang tidak ada lagi alasan untukmu terus mengingat rumah. Bahkan jika kau memutuskan untuk tetap tinggal dan mengabdi di tanah orang, ayah tidak akan melarangmu.”
Sebuah tawaran yang saat itu tidak dijawab oleh Bambang, namun akhirnya seiring waktu dia menolaknya meski Paman Imuh sebenarnya berat untuk melepasnya. Guru yang hampir memasuki masa pensiun itu sudah menganggap Bambang sebagai anaknya sendiri.
“Bagaimana jika kau meneruskan hingga sarjana, aku yang akan membiayainya?” ujar Paman Imuh menawari sewaktu Bambang tinggal menghitung hari kelulusannya dari SPG.
“Saya ingin pulang kampung, paman. Saya sudah cukup banyak merepotkan paman sekeluarga.”
“Jangan merasa tidak enak atau aku akan merasa tersinggung.” Paman Imuh bersikeras, “aku bahkan bisa mencarikanmu pekerjaan di sini. Kau bisa mengajar di sini sambil kuliah. Dengan begitu kau akan mendapatkan ilmu dan penghasilan sekaligus.”
Bambang sempat terdiam sejenak. Pikirannya cukup tergiur dengan tawaran Paman Imuh yang terasa begitu mewah. Hanya saja ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya.
Bambang ingin mengabdi di tanah di mana ibunya mengabdi dan mengukir jejaknya sebagai seorang guru mengikuti ibunya.
“Maaf paman, aku ingin langsung mendaftar menjadi guru di kampung saja.” Dengan hati-hati Bambang memilih kata-kata agar tidak menyakiti orang yang selama ini sudah sangat berjasa terhadap dirinya. “Saya ingin lebih dekat dengan ayah dan memenuhi janji terhadap ibu.”
Alasan itu akhirnya mampu membuat Paman Imuh melepasnya meski dengan lelehan air mata. Sesuatu yang baru pertama kali dialami oleh Bambang, karena selama ini ayahnya selalu terlihat tegar untuk berpisah dengannya.
Pada saat itu untuk menjadi seorang guru hingga mencapai status seorang pegawai negeri sipil tidaklah sulit apalagi dengan bekal ijazah dari sekolah pendidikan guru yang memang khusus menyiapkan tenaga pendidik bagi sekolah-sekolah.
Keberuntungan Bambang seperti bertambah karena kampung halamannya tengah membuka sebuah Sekolah Menengah Pertama dan masih kekurangan guru. Bambang langsung diangkat menjadi PNS dan ditugaskan di kampung halamannya sendiri. Saat itu usianya baru 20 tahun lebih sedikit.
Bambang menjadi guru angkatan pertama yang sekaligus mengajar angkatan pertama sekolah itu. Sebuah impian yang menjadi kenyataan.
“Ini baru awal, kamu belum boleh berpuas diri.” Kata ayahnya mengingatkan, “Jalan sebagai seorang guru tidaklah berbatas, kesuksesanmu adalah ketika berhasil membuat siswamu menjadi orang yang berguna, dan kegagalanmu adalah ketika kau putus asa dan berhenti mengajari mereka.”
“Iya aku akan ingat kata-kata ayah,” ucap Bambang menelan kembali kebanggaannya yang terlalu dini.
Tahun kedua dirinya mengajar, giliran ayahnya yang meninggal dunia. Sebuah kepergian yang sungguh mendadak. Jika ibunya dulu sempat sakit selama dua hari sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, maka ayahnya lebih mendadak lagi.
Baru pada pagi harinya Bambang berpamitan untuk berangkat mengajar kepada ayahnya yang terlihat masih segar bugar. Tiba-tiba menjelang siang hari, dia mendapat kabar bahwa ayahnya telah meninggal dunia.