Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #14

Chapter 14

Hari masih pagi, jam pelajaran seharusnya masih berlangsung. Namun sebagian besar guru berada di dalam ruang Tata Usaha. Suasana kelas diusahakan tenang dengan memberikan tugas kepada para siswa. Selain itu memang sesekali ada guru yang mendatangi kelas hanya untuk menenangkan siswa yang mulai gelisah.

Ternyata para guru juga tidak kalah gelisahnya. Hari ini adalah tenggat waktu untuk pengumpulan berkas sertifikasi para guru. Laporan hasil mengajar mereka selama 3 bulan terakhir harus segera diserahkan ke dinas pendidikan untuk dievaluasi.

Selain agar mendapatkan nilai positif dari diknas dan sebagai bukti telah melaksanakan tugasnya dengan baik, laporan ini juga berfungsi sebagai syarat untuk menerima tunjangan sertifikasi.

Sebuah tunjangan yang sangat diharapkan para guru untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Bambang sebenarnya tidak suka meninggalkan kelas disaat jam pelajaran masih berlangsung. Namun ini adalah sebuah keadaan darurat. Bagi para guru yang berada cukup jauh dari kantor wilayah dinas pendidikan, seperti SMP tempat Bambang mengajar, mengirimkan dokumen sertifikasi saja akan memakan waktu mengajar. Sehingga seringkali mereka menunjuk satu orang guru yang tidak ada jam mengajar ataupun yang paling sedikit jam mengajarnya hari itu untuk mengantar secara kolektif dokumen para guru.

“Untung ada sertifikasi ini, soalnya kalau mengharap gaji cuma cukup buat bayar cicilan,” kata Pak Rizal yang baru saja membeli sebuah mobil. Padahal guru yang lebih muda 5 tahun dari Bambang itu baru saja selesai merenovasi rumahnya.

“Iya ni pak, untung pemerintah perhatian dengan kesejahteraan para guru.” Balas Bu Desi.

Memang setelah dibuatnya program sertifikasi guru, penghasilan para guru meningkat. Banyak diantara para guru yang akhirnya mampu mencicil mobil dan juga membangun ataupun merenovasi rumah.

Ini untuk bayar kuliah Nency. Begitulah rencana Bambang ketika menerima tunjangan sertifikasi nantinya.

Bagi Bambang tunjangan sertifikasi yang diterimanya digunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Diapun menyisihkan sedikit untuk merenovasi rumah peninggalan orang tuanya dan juga mencicil sebuah sepeda motor baru untuk dirinya dan juga untuk Nency.

Bagi Pak Fathur dan Bu Zila tunjangan sertifikasi dan insentif adalah anugrah tersendiri mengingat gaji mereka yang hampir selalu minus untuk membayar tagihan utang-utang mereka.

Mereka terlihat sebagai guru yang paling bersemangat meski para guru lainnya tak kalah bersemangatnya.

“Sekarang menjadi guru makin susah ya.” Keluh Bu Wiji ketika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan laporannya.

“Iya banyak laporan yang harus dibuat,” Pak Rizal ikut menimpali, ”belum lagi harus bisa Komputer lah, minimal S1 lah, bikin makalah lah….”

Bu wiji menghelas napas sebelum melanjutkan, dia seperti mendapatkan dukungan untuk mengungkapkan uneg-unegnya. “Kita jadi tidak bisa fokus mengajar karena gurunya juga dikejar-kejar pengawas. Padahal mengajar seperti biasa juga gak masalah kok. Selama ini juga begitu dan baik- baik saja.”

Meski tidak ikut mengutarakan pendapatnya, Bambang sebenarnya cukup mengamini keluhan dari teman-temannya. Dia sendiripun merasakan hal serupa. Hanya saja Bambang tidak ingin mengeluh, baginya hal itu malah membuat suasana semakin susah.

Baginya mengajar itu menyenangkan. Menjadi guru adalah cita-cita Bambang semenjak dahulu, bukan hanya sakadar pekerjaan untuk mencari nafkah atau terpaksa oleh keadaan. Sehingga dia tidak ingin mengeluhkan pekerjaan yang dipilihnya sendiri dengan suka hati.

Akan tetapi Bambang tahu bagaimana rasanya kebingungan akibat peraturan baru yang diterapkan pemerintah terutama bagi para guru senior seperti dirinya.

Setelah menyelesaikan seluruh dokumennya dengan cepat, Bambang menyerahkannya kepada Pak Rizal yang hari ini kebagian tugas untuk mengantarkannya ke kantor dinas pendidikan di ibu kota kabupaten. Buru-buru Bambang melangkahkan kakinya menuju kelas di mana jadwalnya untuk mengajar.

Masih ada waktu.

Meski sudah meninggalkan tugas bagi para siswanya, tapi Bambang tidak bisa tenang karena dia tahu watak para anak-anak ABG ini sulit sekali untuk fokus belajar jika tidak ada yang mengawasi.

Dalam perjalanannya ke kelas, Bambang berpapasan dengan Pak Hadi yang tampak santai. Sebenarnya Bambang cukup iri dengan guru muda yang sudah mahir dalam e-learning itu. Tentu tugas yang mengharuskan penginputan data ke dalam komputer akan sangat mudah diselesaikannya.

“Pak Hadi enak ya bisa santai,” sapa Bambang sembari tersenyum.

“Santai bagaimana pak?” elak Pak Hadi yang takut dikira bermalas-malasan.

“Itu tidak sibuk seperti guru-guru yang lainnya.”

Pak Hadi hanya tertawa kecil menanggapi perkataan Bambang. “Itulah mudahnya kalau menguasai sistem pendidikan sekarang pak, semua sudah serba mudah. Tinggal ketik di Komputer.”

Bambang hanya tersenyum masam untuk kemudian pamit berlalu menuju kelasnya.

Tapi di dalam hati Bambang juga sangat berterima kasih kepada Pak Hadi karena dari mencontoh guru muda itulah Bambang bisa lebih cepat dalam menyelesaikan laporannya.

“Makanya para guru di sini harus belajar komputer,” desak Pak Hadi suatu ketika.

Lihat selengkapnya