Bambang menghela napas, pada satu sisi dirinya sangat bersyukur sedangkan di sisi lain ada terbersit sedikit rasa kecewa di hatinya. Bersyukur karena dana sertifikasi sudah masuk ke dalam rekeningnya dan bisa digunakan disaat ada keperluan mendesak seperti sekarang ini. Tapi juga dirinya sekaligus kecewa karena uang itu akan segera habis terpakai untuk biaya anak-anaknya.
Tadi malam Nency menelpon minta dikirimi uang. Padahal Bambang baru saja mengiriminya uang kurang dari sebulan yang lalu. Tapi Bambang mengerti kalau kuliah itu tidaklah murah.
Sewaktu memutuskan untuk membiarkan anak-anaknya berkuliah di Pulau Jawa, Bambang memang sudah siap dengan berbagai konsekuensinya, termasuk kewajiban untuk membiayai mereka dengan maksimal.
Sekarang belum lagi Bambang mentransfer uang untuk Nency, Bagus juga menelpon dengan permintaan yang serupa seperti adiknya.
“Uang beasiswaku belum cair,” kata Bagus memberikan alasan.
“Belum cair? Kau tidak sedang bermasalah kan? Nilaimu masih baik-baik saja kan?” Tanya Bambang khawatir.
“Aku tidak ada masalah Yah, nilaiku semuanya masih bagus. Cuma memang terlambat saja untuk bulan ini.”
“Baiklah kalau begitu, nanti sepulang dari sekolah akan ayah transfer. Kau perlu berapa?”
“10 juta.”
Bambang kaget mendengarnya, meski dia memang mengira biaya kuliah master tentu lebih mahal dari strata satu.
“Banyak sekali?”
“Biaya kuliah S2 memang mahal. Nanti kalau beasiswa sudah cair akan aku ganti.”