Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #17

Chapter 17

Bambang memejamkan matanya, masih terasa berat kepalanya, dipijit-pijitnya pelan di daerah pelipis. Tubuhnya terasa sangat lelah, dia duduk dengan menyadarkan seluruh tubuhnya di kursi yang disediakan khusus bagi pengawas ujian. Beberapa kali ia menghela napas panjang.

Tugasnya memang semakin banyak menjelang ujian semester namun itu adalah hal yang biasa terjadi. Rutinitas yang tidak pernah berubah untuk bertemu anak-anak muridnya setiap hari dan mengajarkan materi yang hampir sama setiap tahunnya. Dia hampir hafal materi apa saja yang harus diajarkan tanpa harus melihat buku paket. Sesuatu yang hampir tidak pernah berubah dan sudah lebih dari 30 tahun dia jalani.

Hal-hal yang berubah hanyalah masalah teknis mengenai kurikulum yang beberapa kali berganti-ganti. Sesuatu yang mengharuskan para guru untuk menyesuaikan kembali materi dan teknik mengajar mereka. Terkini mereka juga diharuskan untuk mengganti metode mengajar mereka untuk menyesuaikan dengan anak-anak era milenial yang menjadi murid mereka sekarang ini.

Terkadang pikirannya menerawang masa yang tersisa, 2 tahun lagi sebelum masa pensiunnya tiba. Berbagai macam rencana silih berganti melintas di dalam kepalanya untuk mengisi masa pensiun. Namun tidak ada yang bertahan lama karena selalu diakhiri dengan ketidakpuasan. Selama bertahun-tahun mengajar, dia tidak tahu harus melakukan apa lagi ketika masa pensiunnya tiba kelak.

Paling sering terlintas di benaknya adalah tanah seluas dua setengah hektar yang dibelinya hampir 20 tahun lalu.

Pada saat itu niatnya hanyalah menolong orang yang datang ke rumahnya kerena butuh uang. Orang itu setengah memaksa memintanya untuk membeli tanah itu yang akhirnya disetujuinya. Saat itu harganya masih sangat murah tapi dia sama sekali tidak memikirkan mau diapakan tanah itu nantinya.

Awalnya berbagai macam saran datang kepadanya untuk memanfaatkan tanah tersebut, yang mayoritasnya menyarankan untuk menanaminya kelapa sawit ataupun pohon karet.

“Itu akan menghasilkan uang meski kau ongkang-ongkang kaki di rumah.” Begitu kata salah seorang kawannya dulu yang sedang giat-giatnya merintis kebun karet dan kelapa sawit. Terbukti memang, sekarang sang kawan telah menikmati hasil dari kebunnya itu.

Akan tetapi Bambang tidak menyesali pilihannya untuk tidak memilih saran mereka itu. Dia lebih memilih untuk mengajar daripada disibukkan dengan memikirkan dan mengurus kebunnya. Dia hanya ingin menjadikan itu sebagai usaha sampingan yang tidak menganggu tugas utamanya dalam mengajar.

Teman-temannya yang memiliki kebun seringkali meninggalkan tugasnya mengajar untuk mengurus kebunnya meski mereka beralasan sudah meninggalkan tugas untuk para siswa. Bahkan ketika absensi guru diperketat seperti sekarang ini, mereka akhirnya memutuskan untuk pensiun dini demi mengurus kebun kelapa sawit dan karet mereka sepenuhnya yang dirasa mampu memberikan keuntungan finansial lebih daripada hanya menunggu gaji setiap bulannya.

Sedangkan bagi Bambang berkebun hanyalah hobi untuk mengisi waktu luang di hari libur jika memang tidak ada pekerjaan lain yang harus dilakukan. Namun jika sudah mengurus kebunnya itu dia akan melakukannya dengan serius. Di kebun yang sejuk dan sepi itu, Bambang banyak merenungkan pekerjaannya sebagai guru. Di sana dia mengisi kembali energinya dan menenangkan pikirannya.

Tanah yang dua tahun awal sejak dibeli rajin digarapnya menjadi sebuah kebun. Namun kebunnya itu beberapa tahun belakangan ini jarang dia tengok. Bagaimana kabar pondok kecil sekadar tempat berteduh yang dia bangun disana?

Bagaimana dengan pohon durian, rambutan, mangga, kayu gaharu dan pohon-pohon pisang di sana?

Lihat selengkapnya