Setelah berada hampir seminggu mendampingi anaknya, sudah tiba waktunya bagi Bambang dan Revi untuk kembali. Tiket pesawat sudah dipesankan, terima kasih kepada Mirna yang meski tidak bisa ikut mendampingi selalu membantu dan memastikan kebutuhan orang tua dan adik-adiknya terpenuhi.
Meski tidaklah sepenuhnya kembali seperti semula, tapi komunikasi Bambang dan Bagus mulai mencair. Mereka sudah bisa bercakap-cakap walau terkesan masih kaku dan kental dengan suasana formal.
“Bagus menyesal Yah, sangat menyesal. Tolong ampuni Bagus,” mohon Bagus entah untuk yang kesekian kalinya kepada orang tuanya yang tengah mengemasi barang-barang mereka.
“Semua sudah terjadi,” jawab Bambang datar, sama sekali tidak menoleh kepada anaknya yang sedang memelas.
“Yang penting sekarang kau sungguh-sungguh berniat untuk memperbaiki diri. Jadikan kesalahan ini sebagai penyesalan yang tidak akan pernah kau ulangi lagi.” Revi berusaha untuk berlaku lemah lembut terhadap putra kesayangannya itu.
Bagaimanapun baginya Bagus sudah cukup menderita dengan hukuman yang telah dia terima. Dia tidak ingin anaknya itu lebih terluka lagi.
Bagus membisu sebelum kemudian mengangguk dengan lemah.
“Sudahlah nak, jangan terlalu larut dalam kesedihan,” Revi sedikit khawatir kemudian beralih kepada suaminya, “Kakak juga, cobalah untuk lebih baik kepada Bagus. Kalau terus ditekan dia bisa stres, bukankah orang di tempat rehabilitasi bilang dia butuh dukungan.”
Bambang menghela napas dan memandang kepada putranya. Mulutnya hampir terbuka namun urung mengeluarkan kata-kata. Selama ini tak terhitung sudah dia mengeluarkan kata-kata bijak dan menasihati para siswa yang nakal. Diapun sering memarahi siswa yang kedapatan berbuat salah. Tetapi ketika hal itu terjadi kepada darah dagingnya sendiri, dia tidak tahu harus melakukan apa. Nasihat seperti apa dan amarah seperti apa yang harus dia keluarkan terhadap anaknya itu.
“Kau benar-benar tidak ingin pulang bersama kami?” Tanya Revi lagi meyakinkan sembari melirik suaminya.
Bagus menggeleng, selain karena masih memiliki jadwal rehabilitasi dan wajib lapor, dia juga menyadari bahwa ayahnya pasti akan malu jika mengajaknya pulang bersama mereka.
Beruntung dengan bantuan suami Mirna, ada sebuah universitas swasta yang mau menerimanya untuk melanjutkan studi di tempat mereka. Meski masa depan yang pernah dibayangkannya sudah hancur, tapi dia harus melangkah maju guna membangun masa depan yang baru, begitu pesan Mirna ditelpon walaupun baru diucapkan setelah mengomeli adiknya itu habis-habisan.
“Setidaknya dengan gelar master, kau masih bisa mendapatkan pekerjaan yang layak kelak.” Kata Mirna melalui saluran telepon.
“Siapa yang mau menerima mantan pecandu?”
“Kalau tidak ada yang mau menerima ya kau bikin pekerjaan sendiri lah. Kau kan katanya anak yang pintar, punya gelar master lagi. Masak mikirin usaha sendiri saja tidak bisa,” omel Mirna lagi dengan suara yang ketus.
“Sudah kau jangan menyusahkan ayah dan ibu lagi. Jadikan ini yang pertama dan terakhir kalinya.”
Revi dan Bambang kini telah siap untuk pulang. Meski masih digelayuti beban pikiran dan rasa takut, tapi Bambang sudah siap apapun yang terjadi di kampungnya kelak. Para mahasiswa yang berasal satu daerah maupun yang kenal dengan mereka pasti sudah menyampaikan berita ini di kampung halamannya. Kabar akan cepat tersebar seperti angin yang tak bisa ditahan.
“Jam berapa jadwal penerbangannya?” Tanya Bambang kepada Revi.
“Jam setengah empat.”
Bambang melihat ke arah jam tangannya, masih tersisa tiga jam lagi, “Di mana Nency?”
“Sepertinya masih di kostnya Yah?” kali ini Bagus memberanikan diri menjawab pertanyaan ayahnya.
Bambang mendengus dan seperti mengacuhkan Bagus.
“Beberapa hari ini sepertinya Nency memang kurang sehat. Dia kelihatan pucat.” Kata Revi dengan khawatir.