Tepian Zaman

Nur Cholish Majid
Chapter #22

Chapter 22

Bambang menatap langit yang mendung dari balik jendela, sepertinya sudah masuk musim penghujan.

Tidak seperti di kampung halamannya, di sini kalau sudah hujan bisa tak berhenti hingga berhari-hari. Di kampung kalau sedang hujan, para siswa bahkan gurunya sekalipun seringkali dilanda kemalasan. Entah bagaimana dengan kota pelajar ini, mungkin semuanya sangat berbeda, ataukah sama saja?

Tapi di rumah sakit ini, meski masih ramai tapi suasananya menjadi lebih ringan saat hujan turun. Mungkin udara dingin mampu mendinginkan tensi kerja para dokter dan juga meringankan sakit para pasien.

Bambang berharap itupun berlaku pada dirinya, namun kepalanya tetap saja dihinggapi rasa sakit yang amat sangat. Tensi darahnya meningkat drastis sehingga harus ditangani secara serius oleh pihak rumah sakit.

Penerbangan pulang mereka dibatalkan. Dan di sinilah dia sekarang terbaring di ranjang pasien dengan selang infus terpasang di tangan kanannya.

Masih segar dalam ingatannya ketika dia masuk ke kamar Nency untuk memanggil Revi yang tidak kunjung keluar. Dia ingin memberitahu bahwa sudah saatnya mereka untuk ke bandara.

“Dek,” Panggil Bambang bersamaan dengan membuka pintu kamar. Apa yang dia lihat adalah muka Revi yang tengah pucat pasi seperti telah melihat hantu.

“Kamu kenapa dek? Kamu sakit?” Bambang berjalan menghampiri dan menjumput kertas yang teronggok di lantai. Revi terlambat sadar dan diapun seperti tidak memiliki kekuatan untuk merebut ataupun menyembunyikan kertas itu.

Revi menunduk sedangkan merah padam muka Bambang melihat kertas itu. Tidak peduli lagi dengan keadaan Nency, dibentaknya anak yang tengah tertidur pulas itu hingga terbangun dengan lemah.

“Apa maksudnya ini!?!” teriak Bambang murka, seolah seluruh amarahnya yang tertahan dimuntahkannya saat itu juga.

Nency yang masih belum sepenuhnya sadar, awalnya tidak bisa menangkap apa maksud ayahnya.

“Sabar kak, tenang,” ujar Revi putus asa.

Bambang terus memuntahkan amarahnya hingga akhirnya napasnya tersengal, kepalanya terasa sangat berat dan dadanya sesak. Selanjutnya pandangan Bambang sudah menjadi gelap dan tidak ingat lagi apa yang selanjutnya terjadi.

Ketika terbangun dirinya sudah berada di rumah sakit.

Mengingat semua itu dadanya kembali bergemuruh, emosinya begitu memuncak bercampur rasa sedih dan sesal yang teramat menyesakkan hingga ekpresi yang bisa dikeluarkan hanya menangis sejadi-jadinya.

Suara dari Bambang membuat Revi yang menungguinya segera menghampiri. Demi melihat istrinya, Bambang segera menghentikan tangisnya namun tetap saja sesegukannya susah untuk dihentikan meski kini sudah tidak lagi bersuara.

Tapi tidak satu patah katapun keluar dari mulut Revi begitu sang istri sudah duduk di samping suaminya. Mukanya jelas sekali tampak duka yang sangat dalam dengan kelopak mata yang masih sembab dan memerah.

Lama mereka saling diam tanpa sepatah katapun. Kesunyiaan yang hanya mereka yang tahu apa yang saat ini sedang bergemuruh di dalam dada.

Lihat selengkapnya