Hari berganti hari hingga menjadi minggu.
Minggu-minggu berputar menggenapi bulan.
Hal-hal yang terjadi di masa lalu perlahan-lahan mulai samar dalam ingatan hingga akhirnya hilang tak terkenang.
Itulah yang diharapannya, tapi sesuatu yang menyakitkan seringkali lebih membekas daripada apa yang menyenangkan. Bagai tanah kering yang langsung berlumpur dan tergenang ketika tersiram hujan sebentar, padahal banjir tidak segera surut meski dipanggang panas seharian.
Bekas sakit, marah, sedih, duka dan kecewanya susah untuk dihilangkan. Bahkan seringkali menjadi bekas permanen yang selalu terbayang kembali meski tak diingini untuk kembali terulang.
Dengan menarik napas dalam-dalam Bambang berusaha untuk menenangkan diri. Masalah yang muncul secara bertubi-tubi ini membuat dirinya hampir tidak bisa berpikir secara jernih lagi. Kepalanya yang akhir-akhir ini lebih sering terasa sakit dan pusing membuat tubuhnya terasa melayang setiap kali bergerak dari posisi duduk ke berdiri.
Beberapa waktu yang lalu juga Bambang terpaksa harus memeriksakan diri ke puskesmas karena rasa sakit yang tak tertahankan. Padahal sebelumnya dirinya hampir-hampir tidak pernah sakit yang mengharuskan untuk rutin memeriksakan diri ke dokter. Paling parah sakit yang pernah dialami adalah flu dan maag, itupun sembuh dengan hanya meminum obat flu yang dibeli dari warung dekat rumah.
Namun semenjak dirawat dulu ketika mengetahui kehamilan Nency, sepertinya kondisi tubuh Bambang menurun dengan drastis.
“Tensi bapak sangat tinggi, tolong lebih diperhatikan lagi kesehatannya.” Begitu kata dokter yang memeriksanya sambil menuliskan resep.
“Saya mengalami tekanan darah tinggi dok?”
“Bukan hanya itu pak. Asam urat dan kolesterol bapak juga tergolong tinggi. Di usia bapak sekarang ini, jika tidak memperhatikan kesehatan, bapak rawan terkena stroke atau jantung.”
Penyakit yang belum pernah diidapnya sebelumnya, sekarang muncul secara berombongan menggerogoti tubuhnya. Entah apa lagi kejutan yang akan menimpanya. Namun di balik itu semua, sempat terlintas dalam benaknya bahwa kematian mungkin akan lebih baik dari ini semua untuk meringankan beban rasa malu dan sakit melihat kondisi anak-anaknya.
Cerita mengenai anak-anak Bambang dengan cepat menyebar di kampung halamannya. Hanya saja karena statusnya sebagai seorang guru yang dihormati, membuat orang-orang segan untuk mempergunjingkannya secara terang-terangan. Tapi Bambang tahu, tatapan-tatapan mereka memiliki kilat yang berbeda saat melihat dirinya. Pun dengan aroma bumbu-bumbu gosip-gosip yang kini menyebar seputar keluarganya.
Terasa begitu menyesakkan dan menambah beban batinnya.
Jika sebelumnya Bambang merupakan sosok yang gemar bersosialisasi dan berinteraksi dengan para tetangga dan masyarakat. Maka setelah kejadian memalukan yang menimpa anak-anaknya, kini Bambang tidak suka lagi berlama-lama berinteraksi dengan orang lain.