Hari-hari tidak pernah berjalan sama lagi bagi Bambang semenjak musibah yang menimpa Bagus dan Nency. Perangkat multimedia yang semula membuatnya kagum karena sangat membantu dalam proses belajar mengajar kini mulai terasa menyebalkan.
Sedikit banyak Bambang menyalahkan kemajuan teknologi ini atas musibah yang menimpa anak-anaknya.
Dari keterangan pihak kepolisian dan pengakuan Bagus sendiri. Putranya itu berkenalan dengan narkotika melalui teman-temannya di media sosial. Bahkan transaksi barang haram itupun mereka lakukan melalui media sosial, di mana tempat berkumpul dan lain sebagainya juga direncanakan melalui dunia maya.
Demikianpun dengan Nency yang mengenal pria yang telah merenggut kesuciannya melalui sebuah aplikasi chatting.
Bambang yang dulu memang sempat sangat skeptis terhadap teknologi informasi, kini kembali memandangnya sebagai biang masalah.
Konten-konten pornografi yang banyak bertebaran di dunia maya pastilah salah satu yang menyebabkan rusaknya kesucian anaknya dan mungkin juga banyak anak-anak perempuan lainnya, pikirnya.
Dunia yang tanpa batas, tanpa bisa diawasi sungguh sangat menakutkan. Bambang yang merasa menjadi korban, tidak mau lagi berurusan dengannya. Padahal semester ini, para guru yang sudah dibekali dengan masing-masing perangkat laptop diharapkan sudah bisa mengurangi penggunaan kertas dan tinta dalam proses belajar mengajar mereka.
Selama dua semester sebelumnya, para guru termasuk juga Bambang rutin mengikuti pelatihan mengajar menggunakan perangkat multimedia. Mereka diajari bagaimana menggunakan aplikasi slideshow sebagai ganti papan tulis dalam menjabarkan materi pelajaran yang akan mereka sampaikan.
Bahkan Bambang dan para guru lainnya juga diharuskan untuk membuat surel pribadi yang selain berfungsi untuk pendaftaran pada aplikasi pendataan guru juga berguna untuk menunjang proses belajar mengajar.
Meski masih sangat kaku karena belum terbiasa, Bambang beberapa kali sempat mencoba mengajar dengan metode slideshow dan juga meminta para siswa untuk mengumpulkan tugas mereka melalui surel.
Kini dengan kejadian yang menimpa putra putrinya, Bambang pun akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan metode mengajar dengan perangkat multimedia itu. Anak-anak SMP tidak seharusnya membawa smartphone ke sekolah, begitu keyakinannya sekarang.
Bambang memandang kepada para siswa yang duduk dengan rapi di belakang mejanya masing-masing. Ada kecemburuan di dalam kilatan matanya.
Hatinya terasa perih ketika mengingat dulunya, Bagus dan Nency adalah bagian dari anak-anak ini, yang memiliki tampang penuh kepolosan. Mereka bersekolah dengan masa depan yang masih terbentang luas di hadapan mereka. Tidak ada satupun yang bisa membatasi mimpi mereka untuk menjadi orang sukses di masa yang akan datang.
Pada satu momen, Bambang membayangkan bagaimana nantinya ketika anak-anak yang duduk di hadapannya ini kelak menjadi orang yang berhasil. Tapi pada momen lain dirinya membandingkan mereka dengan anak-anaknya yang sudah hampir dipastikannya memiliki masa depan yang tidak lagi sebagus apa yang dibayangkannya dahulu.
Aneh memang, terkadang mendidik anak orang lain terasa lebih mudah dari pada anak sendiri. Batasan antara profesionalitas sebagai seorang guru dan kasih sayang sebagai orang tua kadang kala membuat semua menjadi cukup rumit.
Perasaannya tercampur aduk. Dia ingin menjadi seorang guru yang profesional namun di lain pihak dirinya sendiripun merupakan seorang ayah yang ingin agar anak kandungnya bisa lebih unggul dari anak yang lainnya.
Para siswa menunggu dalam diam perintah dari sang guru. Suasana tegang segera merayapi seisi kelas. Sudah barang tentu mereka mengetahui masalah yang menimpa anak-anak gurunya itu.
Tidak ada yang bisa disembunyikan di zaman yang tanpa batas ini.
“Kerjakan tugas di buku paket kalian.”
Semua siswa di kelas segera bergerak untuk mengerjakannya kecuali seorang siswa yang mengangkat tangannya.
“Ada apa?”
“Tugas yang kemarin pak, bisakah saya kumpulkan melalui email saja?”
“Jangan! Kalian print saja, baru kumpulkan kepada bapak.”