Sebentar ia menatap hampa ke luar ruangan yang dipisahkan oleh jeruji besi. Di seberang lorong sana ada ruangan yang serupa, udaranya terasa pengap. Ia duduk di atas tilam kapuk yang jauh dari rasa empuk, di depannya berserakan kertas-kertas dan alat tulis. Ia sedang berusaha menulis sesuatu.
Namun tidak ada satu kata yang sanggup ditemukannya untuk memulai apa yang hendak ia tulis. Seperti menghadapi sebuah tembok tebal, dia kesulitan untuk menggambarkan ide-ide yang selama ini telah lama terpendam di dalam kepala. Padahal detil-detilnya yang kecil sekalipun sudah terbayang nyata.
Beberapa orang sempat mengatakan bahwa menulislah seperti halnya berbicara. Nyatanya, meski ia sering berbicara bahkan di depan orang banyak, tidak mudah untuk menuliskan apa yang sering diucapkannya. Ada sesuatu yang dirasa kurang pas untuk ditulis namun lebih mudah diucapkan secara lisan.
Namun jika begitu pasti ada juga sesuatu yang lebih mudah diungkapkan dengan tulisan dari pada diucapkan. Aku hanya harus menemukannya begitu keyakinannya.
Teringat dirinya akan tokoh-tokoh besar yang juga pernah dipenjara, beberapa diantaranya berhasil menghasilkan karya besar yang mendunia dari balik kejamnya penjara.
Tapi kemudian dia menyadari posisinya untuk tidak lantas berani membandingkan diri. Ia bukan tokoh revolusi dan bukan pula pejuang hak asasi. Hanya warga Negara biasa yang telah terbukti melakukan kejahatan sehingga palu keadilan ketua majelis hakim menjatuhkan hukuman meski sebelumnya ia sempat merasa telah lebih banyak berjasa.
Ia mendengus kesal.
Pandangannya dialihkan pada langit di luar ruangan sempit ini yang bisa ia intip melalui ventilasi udara kecil yang juga dibatasi oleh jeruji besi. Langit masih terlihat gelap, meski bintang gemintang sudah mulai pudar menandakan tibanya akhir malam. Langit malam ini terlihat begitu tenang dan damai sehingga mampu membuat pendosa terberat sekalipun jatuh terlelap melupakan semua salahnya.
Sesaat ia mengingat hari-hari yang dilalui dalam lembaga pemasyarakatan ini hanya untuk menyadari bahwa baru tujuh hari dirinya di sini. Masih banyak waktu yang tersisa dari vonis 18 bulan yang diterimanya.
Hari-hari pertamanya terasa berjalan sangat lamban. Sehari bagai selamanya, menelan seluruh harga dirinya yang dulu pernah demikian tinggi. Namun perlahan ia mampu mengontrol emosi, menerima apa yang telah terjadi. Ketenangan seperti malam yang menelan seluruh lelah dalam gelapnya adalah sesuatu yang belum ia dapatkan.
Kemarin, keluarganya membesuk, tidak banyak, hanya istrinya, Revi seorang. Membawakan barang yang ia minta, kertas dan alat-alat tulis. Tidak banyak hal yang mereka bicarakan. Pertemuan singkat mereka yang dibatasi hanya selama 15 menit lebih banyak diisi dalam diam.