Pintu sel tahanan di buka pada pukul 9 pagi.
Para tahanan memiliki waktu dua setengah jam untuk melakukan kegiatan bebas di luar ruang tahanan meski bisa dipastikan tidak ada satupun dari mereka yang bisa keluar dari area lembaga pemasyarakatan yang bertembok tinggi dan dijaga dengan ketat ini.
Ini adalah kesempatan mereka untuk menghirup udara segar. Sebagian tahanan memanfaatkan waktu ini untuk berolahraga, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terkurung selama berjam-jam di ruangan sempit. Sementara sebagian lainnya memilih untuk berjalan-jalan berkeliling untuk menghirup sebanyak mungkin udara segar sebelum kembali menghirup udara pengap dari balik jeruji besi.
“Tidak keluar pak?” Tanya Ibul yang melihat Bambang masih berkutat dengan pena tumpulnya.
“Oh, iya sebentar lagi.”
Bambang memasang tutup penanya. Meski merasa bahwa ia belum cukup menulis hari ini, namun waktu yang hanya sebentar untuk keluar membuatnya harus bisa memaksimalkannya sebaik mungkin.
Penting untuknya mendapatkan udara segar dan suasana yang berbeda agar ide-ide tulisannya tidak kaku. Waktu istirahat sangatlah penting, setidaknya pengalamannya selama mengajar memberitahukan hal itu. Selain itu usianya yang tidak lagi muda membutuhkan lebih banyak gerak agar sendi-sendi tidak kaku.
“Kamu mau kemana?”
“Saya mau olahraga saja pak, main bola sama yang lain. Bapak mau ikut?”
“Tidak, saya sudah tua,” Bambang menunjuk kepada rambutnya yang sudah beruban.
“Ubannya dikit gitu kok pak. Ayo main bola saja, satu tim sama saya.”
“Saya akan jalan-jalan saja.”
Ibul pun tidak memaksa lagi karena sepertinya Bambang memang tidak berniat sama sekali untuk bermain sepakbola.
Mereka berdua berjalan bersama hingga ke lapangan tempat beberapa tahanan lainnya sudah berkumpul untuk bermain sepakbola. Ibul segera bergabung masuk ke lapangan sedangkan Bambang terus berjalan berkeliling.
Tidak butuh waktu lama untuk melakukan satu putaran penuh di sini. Karena sudah beberapa kali melakukannya Bambang tidak lagi memperhatikan apa yang dilihatnya sepanjang jalan-jalan rutinnya. Hampir semuanya sama persis. Tidak ada yang baru dan yang sanggup menarik minatnya.
Ia hanya melangkahkan kaki saja sambil pikirannya terus melayang memikirkan dan membayangkan berbagai macam hal untuk mengusir kebosanan yang siap mengusik. Namun anehnya setiap kali dirinya tersadar dan mengenali dirinya masih di dalam penjara membuat dadanya terasa sedikit lebih sesak dari biasanya.
Merasa cukup berjalan ia pun duduk di kursi yang terletak di area belakang LP. Tidak banyak orang yang berada di sana, hanya ada beberapa penjaga yang tidak akan menghiraukan apabila tidak ada gerakan yang mencurigakan. Tugas mereka hanya mengawasi bukan berinteraksi dengan penghuni lapas.
Lagipula meski tempat ini sepi bukan berarti ini adalah tempat yang cocok untuk melarikan diri. Selain karena masih adanya petugas bersenjata api yang berjaga-jaga di sini, area belakang tembok yang memisahkan lapas ini dan dunia luar hanyalah sebuah anak sungai yang berarus deras. Jika salah langkah yang ada bukan kebebasan yang akan didapatkan melainkan akhir dari perjalanan kehidupan.
Bambang sendiri tidak merasa hendak melarikan diri meski keinginan untuk keluar dari sini sangat menggebu. Dia memilih tempat ini hanya karena ini merupakan tempat yang cocok untuknya menyendiri dan mencari ketenangan sembari memikirkan kelanjutan naskah yang hendak ia tulis.
Suara derasnya arus air yang berisik memberikan rasa aman. Aneh memang ketika tempat yang berbahaya justru itulah merupakan tempat teraman.
“Selamat pagi pak.”
Sapaan itu mengalihkan perhatian Bambang kepada sosok gagah yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya.
“Eh, ndan… komandan.” Kata Bambang kaku menirukan cara tahanan lain menyapa para sipir. Sambil terburu-buru Bambang berusaha untuk berdiri.
“Tidak perlu seperti itu pak. Panggil saja Bowo seperti biasa, seperti sewaktu di sekolah dulu.”
“Tapi kan ini di LP, saya harus ikuti aturan di sini.”
Bowo tersenyum, ia mafhum bahwa guru di SMPnya ini memang terkenal sangat disiplin terhadap peraturan.
“Itu bukan aturan resmi pak, hanya bikinan sipir-sipir di sini biar disegani para napi.”
Bowo mengajak Bambang untuk kembali duduk dan memohon izin duduk di sampingnya. Meski akhirnya duduk tanpa menunggu persetujuan dari Bambang.
“Itu hanya kebiasaan disini pak, bukan aturan.” Kata Bowo kembali menegaskan kepada Bambang yang tampak masih ragu-ragu. “Bapak panggil saya Bowo seperti biasa saja.”
Hening sejenak diantara mereka. Bambang melirik ke arah penjaga yang mengawasi mereka. Dirinya tiba-tiba merasa risih dan bersalah.
“Kamu tidak apa-apa dekat dengan saya.”