Gurat wajah Violin lelah begitu ia sampai pada tangga teratas lantai 3. Kedua pundak kurusnya terbebani pada dua barang berat. Sebenarnya tidak berat, hanya saja menenteng kedua barang itu dari lapangan menuju lantai tiga adalah pekerjaan yang berat. Apalagi Violin hanya siswi kurus, kecil dan lemah. Namun atas semua hal yang terjadi padanya, menjadi kuat adalah pemaksaan kehendak yang harus Violin lakukan. Demi kehidupan layak.
Benarkah?
Dulu, sekitar setahun yang lalu, motivasi itu jelas bekerja dengan baik. Kalimat demi kehidupan yang layak terus Violin lapalkan hingga tertanam dihati, otak, jiwa raganya. Tetapi sekarang, sugesti tersebut sudah basi dan tidak mempan. Violin semakin bertumbuh menjadi tidak 'berperasaan'.
"Jangan jatuh Lin, awas aja!"
Satu siswa berbicara tepat dibelakang Violin. Ia menekuk lengannya, gaya bossy dan santai tak tahu malu. Mungkin dulu Violin benci siswa itu, tetapi sekarang dia tidak membenci lagi. Sudah dikatakan bahwa Violin mulai tumbuh tidak berperasaan.
"Mana tas gue, Lin?"