Jika... kelak... andaikan matahari terbit dari ufuk barat, apakah Violin akan menjadi salah satu manusia yang melihat kejadian akhir jaman tersebut atau malah dirinya sudah pergi dari dunia fana ini?
Kiamat, sepertinya menjadi topik lamunan yang sangat mengasyikan sembari melihati langit-langit cerah dibawah pohon beringin yang tumbuh rindang di belakang gedung sekolah.
Imajinasi liar menari-nari dalam pikiran Violin saat ini. Setelah bel istirahat berbunyi, dia segera keluar dari kelas dan kabur menuju tempat persembunyiannya di belakang gedung sekolah. Tidak ada yang bisa siswi kurus itu lakukan selain melamun ngalur ngidul tak tentu arah. Hingga kiamat tiba-tiba terlintas dan kini menjadi tema lamunannya.
Ketika melihat teriknya matahari siang hari ini, sebenarnya Violin ingin melamunkan menjadi sosok matahari yang menyinari dan berguna banyak hal. Namun ternyata imajinasi itu tak mampu masuk dalam pikirannya. Dan hanya matahari yang terbit dari barat lah yang mampu masuk dan ia bisa lamunkan sekarang.
"Matahari, kalau kamu terbit dari barat, aku masih disini bersama milyaran manusia bangsat yang menyaksikan kedahsyatan akhir jaman atau aku sudah berada di langit menyaksikan dari sana?"
Violin menghela nafas dan menyenderkan bahunya pada batang pohon beringin dibelakangnya.
Namun, jika Violin masih berada di dunia dan menyaksikan kedahsyatan kiamat, bukannya usianya sudah tua. Lalu siapakah gerangan yang menemani hari tuanya atau bagaimana kehidupan di hari tuanya.
Imajinasi tersebut kian liar berkeliyaran dipikiran siswi kurus itu. Dibawah pohon beringin dengan suasana terik menyengat dan ditemani sesekali sepoi angin berhembus, Violin mulai melamun tentang kebahagian. Mengenai hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya baik dimasa depan maupun sekarang.