Jam pelajaran pendidikan kewarganegaraan rasanya ingin tidur saja. Pak Handoko selaku guru bidang studi masih nampak asik menceritakan jaman presiden Soeharto. Padahal hampir semua muridnya ingin tepar sesegera mungkin. Bukan ingin mendengar cerita-cerita jaman dahulu kala.
Lagipula mengapa jarum jam lama sekali bergerak. Inginnya Reja, cepat bel istirahat berbunyi. Ia sudah lapar, tenaganya sudah terkuras akibat mengerjakan soal matematika di pelajaran pertama. Lalu malah mendengar cerita guru berambut putih itu tidak ada habisnya.
Alhasil bukan hanya otak saja yang terkuras. Kemampuan mendengarnya pun mulai berkurang.
"Ja, gue udah nggak tahan lagi. Kalau bel bunyi bangunin gue," kata Ilham di sebelah Reja.
Remaja bertubuh agak gemuk itu langsung menjatuhkan kepalanya di antara lipatan tangan di atas meja. Ia segera memejamkan kelopak matanya.
Reja yang melihat kelakuan teman sebangkunya itu menghela nafas. Dia kembali melihat ke depan dengan menyenderkan bahunya di senderan bangku.
Jika Reja jadi Pak Handoko, dia akan berhenti bercerita akibat hampir separuh siswa-siswi tak lagi mendengarkannya. Namun Pak Handoko bukanlah Reja, sehingga dia tetap terus bercerita.
TETTT.... TETTT.... TETTT....
Hampir saja Reja melompat girang setelah mendengar bel berbunyi nyaring tanda istirahat. Ia bahkan dengan heboh membangunkan Ilham.
Namun ketika Reja masih bisa menahan kegirangannya, nyatanya teman-teman yang lain dengan terang-terangan memprotes untuk segera istirahat.
Pak Handoko tidak bisa mengendalikan. Jadi ia segera menyudahi cerita yang belum selesai. Bodo amat, bahkan sampai kapanpun cerita Pak Handoko yang merupakan penggemar Presiden Soeharto tidak akan ada habisnya.
"Baiklah pelajaran akan di lanjut Minggu depan. Saya akhiri, selamat siang semuanya."
"Selamat siang, pak!" balas sekelas dengan serempak.
Ketika Pak Handoko mulai meninggalkan kelas, semuanya menjadi rusuh. Ilham yang tadinya mengaku mengantuk dan tidak kuat lagi menahan rasa kantuk, segera berlari keluar kelas.