Terangkum Badai

Tiffany Gouw
Chapter #1

Pencarian Ditengah Badai

 Tibanya Musim


Bermula dari hubungan antara setangkai bulu yang tercelup dalam sebotol kecil tinta biru. Aku yang kembali pada tulisanku, aku yang selalu pulang untuk menumpahkan segala arah rasaku padamu.

Penyair Musiman bergegas menjiwai sebuah musim untuk menamainya dan mengabadikan kisah di dalamnya. Ia mencari dimana secarik kertas menyerupai surat dan setangkai bulu yang ia pernah tinggalkan sebelumnya.

Tetapi yang ia temukan adalah jejak berbentuk bercak berwarna biru yang tercecer.

" Oh, tidak. Selama aku pergi apakah ada yang menumpahkan tinta ini? " Sambil menyapukan tangannya pada salah satu bercak kemudian mengikuti arah jejak itu dan menemukan sebotol tinta biru itu yang ternyata masih utuh.



Pencarian di Tengah Badai



Semesta raya kembali menyuara

Terangkum aku dalam badai asmara

Dimana kau, cinta?

Ringkih langkahku menjejaki puing-puing kemarau

Ketika sang langit enggan menghirau

Ku cari engkau, cinta...

Mengapa pagi tak lagi mengembun mengapa malam tak lagi terbangun

Hanya aku, yang bertanya-tanya di tengah badai yang merangkum jiwaku.


✴✴✴


Terjaga aku dari lelap untuk kembali mencari mu.

Ku teriakan segala sunyi yang sebenarnya adalah temanku.

Resah hatiku, bilakah kau dengar?

Sedang desah nafas mu masih terdengar di tengah ributnya suara ombak malam ini.


✴✴✴


Badai lautan ini begitu membahana

Kekelaman mencoba tenggelamkan diriku, katanya " sudahi saja "

Namun ribuan mantera cinta itu masih menguasai diriku di tengah badai, menyadarkan ku akan adanya sebuah rasa sayang yang bergelayut manja di hatiku. Aku pun kembali terlarut untuk menikmati indahnya badai hidupku yang menemaniku untuk mencarimu.


✴✴✴


Kapalku berlayar ke hulu lalu menepi. Deburan ombak mengejutkanku, sekilas pandang bayang mu nampak nyata lalu kemudian kembali tenggelam.


✴✴✴


Menyapamu dari kilasan ombak bertebaran. Dinding yang menghalangi pertemuan antara dirimu dan aku hanyalah air lautan yang di tegakkan oleh tangan Dewa, kita dapat menembusnya dengan basah hanya tidak tahu caranya.



✴✴✴


Akulah secarik halaman kosong yang terbang dari cengkraman sang Dewa dan terinjak di antara kaki badai dan pasir berbuih.


✴✴✴


Hari ini dunia terlalu bising untuk aku yang ingin meneriakkan namamu. Aku pun membuka sebuah bilik di kapalku dan menutup pintu rapat-rapat, aku bersembunyi di tempat dimana kegalapan bukan masalah bagiku. Dimana aku dapat dengan nyaring menyerukan namamu, dalam kering kerinduanku, dalam pedih tangisku, juga dalam tenang do'a ku.



✴✴✴


Aku, seorang anak yang bersaudara akrab dengan sunyi dan sepi, pada dimensi terkemuka di kirimkan untuk berkawan dengan ramainya gemuruh prahara badai. Tetapi, hampa tak pernah pergi. Ia tetap menjadi bagian di jiwaku, akan ku kenalkan nanti saat kita bertemu. 


✴✴✴



Ku berdiri di atas dua utas tali yang membuat diriku bergelayut pada mereka. Satu sisi kenangan satu sisi rindu lalu asmara menganyun-ayunkan tubuhku dalam buaian di bawah kolong langit. Cinta itu sengatan mematikan tapi lagi-lagi aku bermain disana untuk mengamati bayang-bayangmu.


✴✴✴


Dimensi kehampaan itu berongga-rongga dalam, ada yang sunyi ada yang sekedar sepi, ada yang pekat, ada pula yang sekedar gelap.

Pada remang-remang cuaca musim aku berdiang memperhatikan.

Hampa itu sengsara. Jadi ku ajak pergi karena tak tega, " ayo jadilah temanku dalam penatnya pencarian ini" ajakku padanya yang tak tahu ternyata dirinya adalah pembunuh berdarah rendah.


✴✴✴


Di sudut asing yang ku diami, ku cari wajahmu, ku panggil nama mu mengerang gentar. Hanya ombak dan angin ribut yang datang menampar hingga diriku terlempar di sebuah pulau yang lagi-lagi asing untuk ku diami. Wahai engkau yang menjadi segalaku, wahai engkau yang meletakkan aku di tengah badai, temui aku pada kediaman-kediaman asing dunia ini, aku hanya ingin berkata padamu jangan hilang! jangan pergi! Setiap kali aku datang peluk aku sekali lagi.


✴✴✴


Tolong jangan bercanda soal hidup dan mati jika tidak tahu rasanya kehilangan. Jangan sia-siakan nafas yang Tuhan berikan padamu, karena siapa tahu kau sedang bernafas untukku.


✴✴✴


Untuk membuat air dalam gelas tenang tangan yang memegangnya tidak boleh gemetar. Untuk mencintaimu aku tidak gentar sekalipun hatiku terus bergetar, aku akan selalu memastikan kau tentram dalam gengamanku.


✴✴✴


Dedaunan yang saling bergesekan dalam hembusan angin sepoi-sepoi berbisik di belakangku, dari yang tipis ku dengar katanya aku ini dasar tak berguna, katanya pencarianku ini sia-sia, katanya berharap itu percuma. Bagi mereka kau itu tak pernah ada.

Dimanapun kau saat ini tolong jangan dengar mereka, tak usah hiraukan desik-desik dedaunan yang tiada artinya. Aku saja yang dengar pura-pura tuli telinga, kepadamu aku tetap jatuh cinta.



✴✴✴


Ketika aku melakukan perjalanan kehidupan yang tinggal tersisa setengah waktu, tanpa sengaja kakiku menginjak cangkang kerang yang runcing dan tajam. Bukan salah keadaan bukan salah ketidak waspadaan tetapi ini hanyalah peringatan... Pencarianku terhadapmu menjadi pencarian berdarah.



✴✴✴


Entah berapa pasang telinga yang telah mendengar kata permisi dari mulutku yang terus menanyakan dimana dirimu? Apa kabarmu? Yang berakhir dengan mereka menjatuhkan hatinya padaku. Namun apa boleh buat, hatiku hanyalah sebuah rumah untuk kau huni di kemudian hari. Aku datang pada mereka hanya untuk permisi lalu pergi dengan permisi.


✴✴✴


Dalam sekejap hitamku yang gelap, aku seperti makhluk hilang akal dalam sebuah pencarian. Aku tak mungkin selamanya berkelahi dengan badai, bertengkar dengan ombak! Ku dekati dalam sapa yang segan mereka yang ku pikir menyembunyikan dirimu dalam badai, ya, aku bicara pada ombak terlantar namun ia hanya memberi jawab dengan buih di atas pasir yang ku jejaki.


✴✴✴


Jejak yang basah, decak yang beranjak... Aku tergugah berbunga mengamatinya sembari membungkuk pada cinta yang ku kira sedang menuntunku ke arah dirimu berada, namun jiwaku sengsara ketika bertemu kembali dengan jejakku sendiri. Benar, hanya decak langkahku sendiri yang ku dengar sejauh manapun ku pergi, aku hanya terlalu berharap pada cinta yang enggan bersuara.


✴✴✴



Injak-injak buih di atas bumi...

Musnahlah buih dalam dimensi.

Mereka yang meresap atau terserap? Aku yang sekedar meratap atau memilih menetap? Sungguh, aku telah kerasukan badai hari ini.


✴✴✴


Hembusan angin kencang menerjang diriku yang sedang berbaring di atas perahu kecil tanpa dayung. Aku tersenyum padanya namun ia tetap angkuh. Ku katakan dengan ramah padanya silahkan terjang aku sesukamu, ayunkan perharuku sepuasmu, selama kau datang bukan untuk memberitahukan dimana kekasihku berada, aku tidak peduli ancaman apapun yang menerpaku. Benar, aku akan terus mencari cintaku.


✴✴✴


Aku merenung di tepi pantai yang murung. Rupa-rupanya cakrawala enggan bersahabat dengan laut. Aku yang hampa semakin berkeluh, baik, badaikan saja selalu hidupku asal jangan kau apa-apakan kekasihku yang masih tersembunyi di antara alam semesta.


✴✴✴


Tahun-tahun kebimbangan ku hidupi dengan memulai kembali apa yang dinamakan harapan. Pada tahun dimana aku mencarimu seorang pria hitam besar yang belaga mencintaiku telah mencuri hartaku bahkan menyapunya bersih tak tersisa, ia pun menguras seluruh kering jiwaku dan membawanya. Aku butuh pertolongan. Aku butuh udara untuk kembali bernafas, ia dengan kebesarannya tak pernah membiarkan. Pada tengah hari yang senggang kelabu suara serak lembut terdengar seperti seorang petuah tak terlihat berbisik di telingaku, Batavia.


✴✴✴


Wanita keturunan Tionghoa menyapa untuk menanyakan kabarku tanpa menghampiri kediamanku. Desah khasnya yang serak-serak basah tak terlalu terdengar saat itu, pungkas tanyanya melahirkan kebimbangan hatiku antara iya atau tidak. Seorang pemuda yang tahu keadaanku berkata mungkin dia, bagaimana jika ternyata dia namun aku masih antara iya atau tidak. Aku pun memberanikan diri terbuka agar nafasku dapat keluar hingga pada akhirnya pertolongan darinya tak berbuah apa-apa. Jika ku renungkan lagi, iya juga, kenyataan ini serasi. Dialah wanita Batavia yang mengulurkan tangan padaku walau harapku dan harapnya tak berbuah. Pada akhirnya hanya ya sudah, hartaku biarlah hilang lagi pula itu bukan benar-benar milikku. Aku memperolehnya dari kemurahan Dewa, semoga sebuah kejujuranku ini tidak sia-sia meski dunia masih terlihat terlalu garang bagiku yang baru tertimpa bencana. Biar ku jadikan saja pencarian ini hartaku untuk sementara.

Meski tiada sisa jiwaku masih tertolong. Ya, sesosok jiwa yang di takdirkan menemukanmu.



✴✴✴


Hari ini pencarianku berakhir di sebuah telaga tak berair. Tidak ada kehidupan selain manusia yang menjemukan dan batu-batu besar yang kering dan kasar. Aku bertemu dengan seorang Dewi penunggu telaga itu yang tiba-tiba menampakkan diri kepadaku, ia meminta tolong padaku merombak tempat ini tanpa aku mengerti.

Lalu ku turuti dengan menggali dan mengangkat bebatuan dingin itu bersama para warga dengan satu mandat darinya. Tanah pun mulai mengeluarkan air dan timbul ikan-ikan besar yang melompat ke arahku namun berujung terbentur bebatuan yang ku pindahkan. Kini aku tahu sang Dewi mengutusku karena ada kehidupan lain di telaga ini, setelah berterimakasih satu siraman air jernih mengeluarkan aku dari dimensi perkampungan dimana telaga itu berada.


✴✴✴


Masa-masaku menggapai asa seperti hendak mencuri tajuk emas di kota Batavia tanpa sayap dan permadani di awang-awang menutupinya dengan ajian-ajian rahasia di sertai kutukan. Bagian lain dari diriku kembali bersuara seperti talang bocor berisik akan tetesan air dari dalamnya, dia adalah sahabat karib batinku, sehidup semati. Batinku mengamuk karena tidak ada yang ku dapati di tempat ini selain kenangan-kenangan busuk dan menyengat dan dia berkata seraya tetesan air itu merembasi otakku " Jika tak ada yang dapat kau lakukan setidaknya kau masih dapat menunggu ", tapi berapa lama lagi waktuku yang harus habis karena penantian? Dan semua yang ku miliki turut tak tersisa bersamanya. Sudahlah, aku sedang tidak membutuhkan ceramahmu, diam saja dan biarkan kegelapan meliputi seluruh batinku, mungkin akan ku temukan jawab Tuhan disana. Ruh diriku kembali berkata karena memang dia itu makhluk yang susah untuk di suruh diam " Tuhan tahu semuanya ", tentu. Dia itu Maha Tahu tetapi apa artinya tahu tanpa melakukan sesuatu? Aku terkadang muak akan janji-janji Tuhan yang tak kunjung tergenapi. Bagiku Dia hanya sosok penghibur sesaat yang mengusap kepalaku agar berhenti merengek dan menangis, padahal jiwaku sudah sampai mengerang bak harimau beranak! Dia terlalu sibuk mengurusi do'a-do'a orang lain hingga tak ada waktu untuk penganggur yang hanya pandai bergumul dalam batin beserta semua coretannya. Kesibukanku sepanjang waktu hanya membuahi harapan tapi tak satu pun memakan buahnya. Jika kau berkata tentang kebaikan Tuhan aku tidak lagi merasa terharu ungu. Ngomong-ngomong mengenai dirinya, aku tahu dia ada, aku menyayanginya, aku sangat rindu dia hari ini, rindu...sekali,.. namun bersama atau tidaknya aku dengannya aku sudah tidak peduli, badai hidupku lebih kacau saat ini. Sepertinya bumi sedang sekarat betul, hingga memuntahkan segala isi perutnya lalu kena kepadaku yang tak tahu harus bagaimana. Maaf, hari ini kau harus ikut mati bersamaku.

Aku segera beranjak menuju lautan dan bersiap untuk menjatuhkan diri pada kedalaman kuburan hitamnya, kawanan burung-burung berhamburan pergi berpencar memberitakan hari kematian seseorang di dasar laut. Dinginnya ombak, semarak angin, dan matahari yang bersembunyi, menyeringai, memainkan paduan suara pengantar ruh ke alam baka, seluruh tebing berderak pada detik-detik dimana penguasa dunia bawah bertepuk tangan. Aku ingin segera menghentikan nafas tak berarti yang hidup dalam derita ini. Yang hidup dalam kematian, kemerdekaan yang terbelenggu maut. Aku akan membaringkan diri di atas tengkorak-tengkorak basah di dasar lautan. Aku akan tenggelam bersama bagian lain dari diriku beserta seluruh pasukan mimpiku.

Sesaat ketika air laut menelan separuh diriku, tiba-tiba cahaya berpendar dari jantungku dan aku merasakan tenggorokanku kering sekali, sampai menembus jiwaku yang meregangi nyawa, lalu si penceramah batin bicara lagi " Seluas apapun lautan membendung air, air asin ini takkan pernah cukup untuk memuaskan dahagamu dan mengasinkan seluruh pahit deritamu. Sekalipun kau mati di dasar lautan terdalam, kau akan tetap mati dengan jiwa yang gersang. Karena disini bukan tempatmu dan yang akan memuaskan dahagamu ialah dia yang oleh karenanya engkau ada, dia yang tercipta sebelum dirimu ", kau benar, kehidupan dalam lautan terlalu sepi untuk jiwa yang gersang... Mati di sisi seorang yang ku cintai lebih baik daripada mati dalam kutukan laut. Laut tak dapat di kenyangkan oleh jiwa-jiwa manusia sepanjang tahun, baik dari bangkai maupun abu-abu dalam kantung kematian. Tangisan seorang yang ku cintai akan membuat kegersanganku di tumbuhi bunga-bunga dan ruh ku berbau harum.

Sekali lagi kuasa maut kecewa karena cinta. 

Aroma laut memenuhi paru-paruku, air laut telah membelenggu seluruh tubuhku hingga ujung rambut panjangku, tetapi yang kering ialah jiwaku, hanya air matamu yang dapat membasahinya dengan cinta.

Harapanku selalu berbunga dan berbuah setiap kali mengingatmu.



✴✴✴


Pada tepat pukul tengah malam dirimu nampak sangat nyata dalam mimpi panjangku. Kau yang menghampiriku dari belakang ketika aku berada di ambang kebinasaan menjunjung tubuhku di atas pundakmu dan berkata " Jangan mati sebelum mencintaiku "


           ✴✴✴


Pemandangan kilat badai makanan sehari-hari bagi jiwaku. Gelegarnya tak lagi menjadi kekejutan yang membuatku mengutarakan kehampaan. Di hadapannya aku hanyalah seorang anak kecil yang mengucapkan selamat tidur pada Tuhan sampai malaikat pelindung disampingku berkata " Dia tidak pernah tertidur. "



✴✴✴


Langit itu indah para penghuninya bersahaja namun sayang penghuni jelata di bawahnya selalu memulas wajahnya dengan cela dan berpakaian dusta, mereka bermuara dalam kubangan sekam nestapa.



✴✴✴


Aku hanya sekedar iseng melilitkan rumput laut yang terapung di kakiku lalu para makhluk laut berkeriapan menaruh prihatin memandangku. Katanya mereka ingin menyertai perjalanan panjangku. Haha... mereka tidak tahu saja perjalanan untuk menemukanmu itu jauh, sangat jauh.


✴✴✴


Seorang yang sempat ku kenal pada masa lampau, pemuda dekil yang ku pikir sudah mati kembali muncul di sekitarku. Betapa kecewanya aku di bawah langit yang masih mendung setelah hujan, alih-alih seperti yang ku sangka dia justru kini menjadi mutan abadi bertubuh besar dengan sepuntung rokok.


✴✴✴


Untuk menjadi fasih aku perlu banyak berlatih dan hanya bahasa cinta itu yang ku fasihkan di setiap sisi lidahku untuk hanya berbicara denganmu dari kejauhan, dari rindu yang mengendap juga bergelora. 


✴✴✴


Mari, ku perkenalkan satu rasa bernama percuma. Dia sering bersamaku, berada di sisiku ketika aku bersenandung, ketika aku memainkan harmonika. Dia ada karena dia tahu aku melakukan semua itu untuk menyampaikannya padamu, kita berdua sama-sama tertawa pada akhirnya di tepi laut. Ya, benar... Bunyi-bunyian yang ku lantunkan setiap waktu selalu di kalahkan oleh kerasnya suara gemuruh badai, itu sebabnya dia bernama percuma.


✴✴✴


" Di masak dahulu barulah matang. "

" Di cari dahulu barulah datang. "

 Gurauan sang Dewa ada benarnya.


✴✴✴


Seorang Prabu berhiaskan emas di atas kepalanya dan pada beberapa anggota tubuhnya mengaku mencariku dan menghampiriku dengan menggengam sebuah gulungan kitab. Aku yang cemas aku yang takut entah karena tak mengenalnya atau karena tak ingin percaya padanya berlari menghindarinya mencoba bersembunyi sebisaku, yang aku tak tahu pada saat itu sang Prabu adalah seorang utusan untuk menyampaikan pesan kabar damai.

Dan isi dari gulungan kitab itu terjabarkan pula dalam mimpiku yang ternyata sebuah ayat penuntun kehidupan.


✴✴✴


Pada hari yang memuakkan dimana aku tidak dapat berada pada tempat yang semestinya adalah hak ku. Murka menelan diriku bulat-bulat tanpa ampun...

Siapa aku? Makhluk mengerikan! Tak ada yang ku hiraukan selain hatiku yang meradang sekarat parah...

Karena sangking lelah setelah meledakkan amarah aku pergi berpetualang dengan para pendaki yang baru ku temui. Kami di pandu seorang gaid tua menyusuri hutan terlarang, tak ada badai disana namun tetap mencekam, dimana dalam hutan itu sangat di larang menyebut nama Tuhan. Hatiku yang terbiasa berdo'a terpaksa sejenak bungkam...

Kami saling bertukar pandang dengan keringat dinginku yang mulai bercucuran.

Setibanya di penginapan begitu saja aku terlelap karena lelah teramat sangat. Saat itu tiba-tiba tanganku yang di bawah bantal tempatku berbaring di tarik kuat oleh sesosok Gwishin yang terpekik tanpa memperlihatkan wajahnya, pikirku aku takkan berhasil melawannya pikirku aku dapat mati di tangannya tapi aku ingat dimana pun dan apapun keadaanya aku tidak boleh melupakan keberadaan sang Tuhan.

Sekalipun ini badai terhebat aku tak boleh kehilangan diriku yang masih berjuang menemukanmu.

Dan aku terbangun mereda lalu mengiba pada seorang anak yang tak semestinya terkena amarah bodohku.


✴✴✴


Lihat selengkapnya