“Lilis... buatin emak teh,” kata emak sambil membuka tali selendang yang membantunya membawa bakul di punggungnya.
“Ya, Mak,” jawabku sambil berlari ke dapur. “Ini, Mak.” Kuletakkan teh hangat di meja yang langsung diminum oleh wanita paruh baya yang melahirkanku ini. Keringatnya masih terlihat menetes akibat berjalan di tengah hari.
“Kapan emak bisa kayak Rukmini...” Emak mengambil napas panjang. Rukmini adalah nama tetanggaku, dia sedikit lebih muda dibandingkan emak.
“Kenapa dengan Lik Rukmini, Mak?” tanyaku penasaran.
“Tadi emak ketemu di pasar. Dia belanja sama anaknya, si Ambar. Mereka beli perhiasan, baju, buah. Ckckck... beruntung sekali Rukmini sekarang.”
“Mbak Ambar pulang, Mak?” Ambar adalah anak sulung Lik Rukmini yang setahuku bekerja di kota.
“Iya, dia sudah jadi orang sukses. Tiap pulang pasti membawa ibunya ke pasar, belanja perhiasan. Kamu kapan kayak gitu, Lis? Kerja di toko pakaian saja, kapan bisa beliin emak kalung.” Mata emak menerawang, mungkin menyayangkan anak semata wayangnya yang hingga saat ini hanya mampu menjaga agar dapur tetap berfungsi.
“Belum rezekinya, Mak. Lilis udah cari kerjaan lain, tapi belum ada.”
“Kalau di sini saja, mana ada, Lis? Pekerjaan di desa ya begini-begini saja. Emak sudah capek, Lis, jualan singkong di pasar. Emak ingin hidup enak, kayak Rukmini.”
Belum selesai emak meratapi nasibnya karena hanya memiliki seorang anak dengan penghasilan pas-pasan, kami mendengar suara ketukan dari luar.
“Hai, Lilis...” Wajah Pak Tedjo, pemilik beberapa mobil yang difungsikan menjadi alat transportasi umum di desa kami, terlihat dengan senyumnya yang menjemukan.
“Pak Tedjo, ada perlu apa, Pak?” tanyaku sedatar mungkin.
“Panggil Mas saja, bapakmu itu masih lik-ku jauh. Hehe.” Dia tersenyum lagi.
“Ada apa, Mas?” terpaksa aku memenuhinya, satu karena fakta itu memang benar dan yang kedua karena aku ingin dia cepat pergi dari rumahku.
“Ini, Mas ada oleh-oleh. Habis dari kota beli mobil baru.” Dia mengulurkan dua plastik besar padaku.
“Buat apa repot-repot, Mas. Tidak usah, buat keluarga Mas Tedjo saja.” Jawabku, enggan mengambil bungkusan plastik dari tangannya.
“Siapa, Lis?..... Oh, Tedjo.” Suara emak tiba-tiba terdengar di belakangku. “Apa ini?” Pandangan emak langsung tertuju pada dua bungkusan yang diulurkan Mas Tedjo.
“Oleh-oleh, Lik, buat Lik dan Lilis. Tedjo baru beli mobil baru lagi dari kota. Inget, Lilis, jadi Tedjo belikan oleh-oleh.” Dia tersenyum lagi. Dasar buaya darat, apa begini cara dia mendapatkan istrinya dulu.
“Oh... terima kasih ya.” Emak langsung mengambil bungkusan dari tangan Mas Tedjo. “Masuk dulu?”
“Gak usah, Lik, Tedjo mau langsung pulang... hehe... naik mobil baru.” Dia menunjukkan mobil bermuatan 8 orang yang terparkir di jalan. Membeli mobil bekas lalu menjadikannya angkutan adalah bisnis Mas Tedjo sejak lama. Belum ada angkutan desa resmi di sini sehingga bisnis ini menjadi sangat dibutuhkan, khususnya untuk pagi dan sore hari.
“Waahh... bagusnya mobilmu, Jo. Tambah terus ya... sukses kamu. Ya sudah kalau begitu. Hati-hati.” Kata emak dengan wajah sumringah.