Sudah semalam aku di Sentraloka. Kami bertiga tiba di Sentraloka malam hari. Dari terminal Sentraloka, kami masih harus naik angkutan umum ke sini, ke rumah mami. Sesampainya di sini, orang yang dipanggil mami oleh Mbak Ambar menyuruh kami makan. Mami sepertinya berumur 50 tahunan, tubuhnya sedikit gemuk, ramah, dan dia selalu memintaku makan banyak. Mungkin dia merasa tubuhku terlalu kurus. Mbak Wati tidak di sini. Kata Mbak Ambar, dia punya mami sendiri. Apa itu berarti ‘mami’ ini adalah majikan kami? Sepertinya begitu. Aku memiliki kamar sendiri. Tidak besar, tapi sudah ada lemari, meja, kipas angin, gorden, dan seprei. Aku tidak perlu membayar untuk tempat tinggal ini.
Hari sudah pagi, tapi belum ada orang yang keluar dari kamarnya. Kamar Mbak Ambar masih tertutup. Aku memang langsung tidur sehabis makan malam kemarin. Perjalanan 8 jam membuat tubuhku kehabisan tenaga. Aku berjalan ke luar. Rumah ini memiliki 6 kamar, dan di bagian depan terdapat sofa besar yang bisa memuat 12 orang. Rumahnya cukup sederhana, bahkan rumah Mbak Ambar di desa lebih bagus. Di luar, matahari pagi menyambutku. Ini sebuah perkampungan. Pekerjaan apa yang dilakukan Mbak Ambar di sini? Sepertinya banyak sekali orang yang tinggal di sini. Atau mungkin ini hanya tempat tidur untuk karyawan, dan kami harus pergi ke tempat lain untuk bekerja di pabrik? Mungkin begitu.
“Lilis!” Suara seseorang memanggilku. Aku berbalik. Mami berdiri di belakangku.
“Mami…”
“Sudah bangun kamu? Gimana, enak tidurnya?” tanyanya.
“Enak, Mi. Terima kasih.”
“Iya. Kalau mau sarapan, ke sebelah ya. Jangan malu-malu. Desi dan yang lain pasti siang bangunnya. Jam 10 baru pada bangun. Kamu bisa kelaparan kalau nungguin, mana tubuhmu kurus begitu. Harus banyak makan ya...” Mami sangat ramah sekali.
“Desi siapa, Mi?” tanyaku.
“Oh maksudku Ambar. Kalau di sini namanya Desi. Kamu juga harus ganti nama,” Mami mengamatiku. “Lilis itu masih kampungan.”
“Ganti nama?” Mami mengangguk. “Oh ya, Mi, kapan aku mulai bekerja?” tanyaku memberanikan diri.
“Nanti malam bisa mulai,” jawab Mami dengan senyum.
“Malam? Kerjanya malam, Mi?”
“Iya. Biasanya sore sudah mulai ramai. Tapi yang datang sore, biasanya sudah punya langganan sendiri,” kata Mami sambil memegang tanganku. Aku tidak sepenuhnya mengerti.
“Kerjanya seperti apa, Mi?” aku bertanya lagi.
Mami melepaskan tangannya, menatapku lebih tajam kali ini. “Desi belum kasih tahu?” Aku menggeleng.
“Walah...” katanya, ada nada terkejut sekaligus kecewa. “Ya sudah, nanti kamu lihat Ambar saja gimana kerjanya,” ujar Mami lebih tegas kali ini. “Ingat ya, Lilis, baik-baik sama pelanggan, biar dapat uang banyak.”
“Iya, Mi,” jawabku sambil membayangkan berbagai jenis pekerjaan yang melibatkan ‘pelanggan’.
“Ya sudah, Mami masuk dulu. Sarapan kalau mau,” lanjutnya sebelum pergi menghilang ke sebelah, menuju dapur dan tangga ke lantai dua. Kata Mbak Ambar, Mami tinggal di lantai 2 dengan suami dan anaknya.
Mbak Ambar baru bangun jam 11 siang, saat perutku sudah sangat keroncongan. Makan sendirian masih menakutkan untukku, apalagi aku belum melakukan pekerjaan apa pun.
“Gak usah bangun pagi-pagi di sini, Lis. Gak ada kerjaan,” kata Mbak Ambar setelah mandi dan berganti pakaian.
“Aku sudah terbiasa bangun pagi, Mbak,” bau parfum Mbak Ambar menusuk hidungku.
“Ya udah, yuk makan,” dia mendahuluiku berjalan ke sebelah. Kami melewati Mbak Vita yang duduk di sofa depan sambil makan. Kami sempat berkenalan semalam.
Menu makanan hari ini adalah ayam goreng dengan sayur bayam dan sambal. Aku tidak melihat Mami, mungkin di atas.
“Mami selalu masak enak kalau ada anak baru,” kata Mbak Ambar. Mungkin yang dimaksud anak baru itu adalah aku. Kami membawa piring kami kembali ke ruang depan dan duduk di sebelah Mbak Vita yang sudah hampir menghabiskan makanannya.
Saat separuh isi piringku sudah habis, Mami masuk dari arah luar.