Seminggu sudah aku di Sentraloka. Uang lima ratus ribu yang diberikan Om Kusman bukan hanya telah mengambil keperawananku, tapi juga nilai moralku. Lima ratus ribu bisa kudapatkan dalam satu jam, setara dengan gajiku menjaga toko selama sebulan. Aku bisa saja pulang dengan membawa uang empat ratus ribu setelah dipotong jatah Mami dan tiket bus, tapi aku tidak mau hanya membawa itu. Aku ingin membangun rumah berkeramik besar untuk Emak. Aku ingin lebih sukses dari Mas Tedjo, agar dia tidak berani lagi melirikku. Lagipula, aku sudah tidak perawan. Tidak ada lagi yang harus kujaga.
Mbak Desi—begitu aku harus memanggilnya sekarang—pelan-pelan mengajarkan berbagai hal padaku. Tapi pelajaran pertamaku datang dari Om Kusman. Aku tidak melihat bagaimana Om Kusman memakainya karena aku menutup mata, tapi aku melihat bagaimana dia melepasnya. Kondom. Itu adalah hal yang wajib di lokalisasi ini. Kondom melindungi kami dari penyakit dan tanggung jawab yang lebih besar. Kami selalu menyimpan stok kondom di dalam laci kamar. Selain kondom, ada satu lagi yang wajib di sini, dan hari ini aku akan mengetahuinya.
“Lilis Rahayu!” seru petugas kesehatan di depan kami. Mbak Desi mencolek lenganku, menyuruhku maju ke depan. Petugas kesehatan itu menyerahkan KTP-ku, yang sebelumnya kuberikan pada Mami setelah aku memutuskan untuk tinggal di Sentraloka.
“Punya nama lain?” tanyanya.
“Lisa,” jawabku. Setidaknya, semua orang akan tetap memanggilku ‘Lis’.
Petugas kesehatan itu menyuruhku masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat kasur kecil.
“Baru ya?” tanyanya.
“Iya, Mbak,” jawabku. Ada rasa malu dan rendah diri yang kurasakan.
Dia melakukan pemeriksaan singkat, seperti pemeriksaan dokter umum. Setelah itu, dia memintaku berbaring di dipan dan membuka pakaian bawah. Sudah hampir satu minggu aku di sini. Banyak pria yang tidur denganku, membuka pakaianku. Hampir tak ada rasa malu yang tersisa. Tapi kali ini aku merasa malu. Mungkin karena dia bukan pelangganku. Mungkin karena dia orang luar, atau mungkin karena aku menganggapnya lebih suci dariku. Dia melihat kewanitaanku dengan senter, menyentuhnya dengan tangan yang sudah dilapisi sarung tangan.
“Sudah,” katanya. “Jangan lupa pakai kondom ya. Kalau ada gatal atau panas, lapor saja saat pemeriksaan minggu depan.”
“Ya, Mbak,” jawabku sambil mengenakan kembali celana panjang hitamku.
“Ini,” katanya, sambil menyerahkan kartu kecil. Ada fotoku di sana, seperti kartu pelajar. KARTU ANAK ASUH LOKALISASI SENTRALOKA. Aku membawanya keluar.
Sambil menenteng kantong kresek hitam berisi puluhan kondom yang kami beli dengan harga lebih murah dari balai pemeriksaan tadi, aku, Mbak Desi, dan Mbak Vita berjalan kaki pulang.
“Aku dapat suntikan tadi,” kata Mbak Vita.
“Kamu kena?” tanya Mbak Desi.
“Gak tau, pencegahan katanya.”
“Makanya pakai kondom,” ujar Mbak Desi.