Hari sudah siang saat aku membuka mata. Wangi kapur barus dan pengharum ruangan langsung menyergap indra penciumanku. Kamar-kamar di sini menggunakan pewangi bukan hanya karena kami suka aroma wangi, tetapi juga untuk mengusir bau alkohol. Para tamu kadang memesan minuman keras pada Mami dan meminumnya di kamar. Katanya, mereka minum agar lebih kuat. Padahal, selama aku di sini, kebanyakan dari mereka yang minum justru teler duluan. Pernah aku harus membersihkan muntahan di kamar pada pagi harinya. Sejak saat itu, aku tidak mau lagi menerima tamu yang mabuk untuk tidur menginap. Aku sendiri, hingga saat ini, belum pernah menyentuh minuman keras.
Setelah mandi, seperti biasa, aku pergi ke sebelah untuk mengambil makan siang. Mbak Desi masih belum kelihatan. Sepertinya dia ikut teler dengan tamunya semalam. Mbak Vita sudah pulang kampung.
Dua bulan di sini, aku sudah beberapa kali mengirim uang ke Emak melalui Lik Tarno. Semakin banyak aku mengirim, semakin besar Lik Tarno meminta tambah. Lik Tarno memang berjanji akan membangun rumah kami, dan itu membutuhkan biaya tak sedikit. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku belum akan pulang sebelum rumah baruku jadi.
Saat aku mengambil makanan, seorang pria paruh baya, bermata sipit dan kurus, turun dari lantai dua. Pasti langganan Mami. Mbak Desi pernah bercerita bahwa Mami memiliki langganannya sendiri. Kata Mbak Desi, Mami sebenarnya punya suami yang disebut Papi. Tetapi, Papi sering pergi setiap kali mereka bertengkar. Rupanya sebelum aku datang, Mami dan Papi sedang ada masalah, sehingga sampai saat ini aku belum pernah melihat sosok Papi. Pria tua itu melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya, lalu kembali ke ruang tamu.
Perkenalanku dengan Papi baru terjadi dua bulan kemudian, saat aku menjemur pakaianku di lantai atas. Selain menjadi tempat tinggal Mami, lantai atas juga digunakan untuk menjemur pakaian. Papi duduk di teras depan sambil memandangiku. Aku tahu dia adalah suami Mami karena Mbak Desi sudah bercerita semalam. Karena itulah Mami tidak ikut mangkal, kata Mbak Desi. Dari pengamatanku, Papi lebih muda dari Mami, meskipun tidak banyak.
"Baru, ya?" seru Papi tanpa bangun dari duduknya.
"Iya," jawabku sambil terus menjemur baju. Tak kupedulikan lirikan matanya yang menelusuri tubuhku seolah aku telanjang. Pria ini memang hidung belang. Ah, pria mana yang tidak.
"Sudah berapa lama di sini?" tanyanya lagi.
"Tiga bulanan," jawabku singkat. Setelah semua pakaianku habis dijemur, aku segera turun ke bawah, tak mempedulikan tatapan Papi yang masih lekat di pahaku, karena aku hanya mengenakan celana pendek.
Selain melayani tamu, ada satu lagi keahlian yang telah kuasai di Sentraloka: merokok. Aku menyebut ini keahlian, karena ternyata, sebagai seorang pelacur, merokok dibutuhkan. Tuntutan dari Lik Tarno untuk membangun rumah dan dari Emak yang ingin punya sapi, membuatku harus begadang. Rokoklah yang membantuku tetap terjaga. Selain itu, para pria tampaknya menyukai wanita yang merokok. Mungkin terlihat lebih seksi saat kami menghisapnya. Seperti malam ini, aku sudah menghabiskan empat batang hingga tamuku yang keempat datang.