Datangnya Papi kembali bukan hanya membawa perubahan padaku, Mbak Desi, dan Mbak Vita—yang sudah kembali dari desa—karena sesekali Papi akan meminta jatahnya dari kami, tapi lebih dari itu, perubahan terjadi pada Mami. Mami sudah tidak bisa lagi memiliki tamu sendiri. Bagaimanapun kelakuan suaminya, suami tetaplah suami yang tak ingin istrinya berlaku sama. Mereka berdua sama-sama menutup mata terhadap apa yang dilakukan satu sama lain di belakang.
Karena kehadiran Papilah, aku berkenalan dengan Koh Toni. Koh Toni adalah pria keturunan Tionghoa, langganan Mami. Pria tua inilah yang pernah kulihat beberapa bulan lalu ketika aku berada di dapur. Mami mengenalkan Koh Toni padaku sebagai pengganti dirinya. Tentu saja Koh Toni tetap membayarku sama seperti tamu yang lain, tapi Mami mengatakan bahwa Koh Toni berbeda. Aku belum tahu bedanya apa, tapi yang pasti, Mami memintaku untuk selalu mengutamakan Koh Toni saat dia datang.
Setelah dua bulan menjadi langganan Koh Toni setiap kali dia datang, aku berkesimpulan bahwa ‘berbeda’ yang dimaksud Mami adalah dari bayaran yang aku terima dari Koh Toni. Dia selalu membayar jauh lebih besar dari pria lain. Selain itu, dia juga sering membawakanku makanan dan pakaian yang tidak pernah aku minta sebelumnya. Hal lain yang kurasakan adalah bahwa Koh Toni tulus memperhatikan diriku. Dia tidak hanya melihatku sebagai pemuas nafsu, tetapi sebagai seorang wanita—seorang manusia yang memiliki perasaan dan pemikiran. Andai aku dan Koh Toni tidak terjebak dalam kondisi seperti ini, mungkin dia akan memperlakukanku sebagai seorang anak atau keponakan.
"Kenapa kamu di sini, Lis?" tanya Koh Toni malam ini. Dia menginap. Tubuhnya hanya terbungkus sarung di bagian bawah, memperlihatkan dadanya yang kurus dengan kulit putih pucat.
"Lisa kan bekerja, Koh," jawabku sambil menyisir rambut setelah mandi malam. Jika dulu aku tidak suka dengan tamu yang menginap, kini, sejak ada Papi, kadang aku lebih menyukainya. Setidaknya, tidak akan ada tugas tambahan dari Papi, terutama jika yang menginap adalah Koh Toni.
"Kamu masih muda, cantik. Seharusnya kamu bisa bekerja dengan mudah di luar sana." Pertanyaan Koh Toni bukan tidak pernah aku pikirkan. Beberapa kali aku ingin keluar dan mencari pekerjaan lain, tapi tak ada yang bayarannya seperti di sini.
"Lisa cuma tamatan SMA, Koh. Paling kerja buruh, sampai malam juga. Atau kerja di toko, bayarannya kecil. Yang muda dan cantik seperti Lisa, ya kerjanya di sini, biar dapatnya besar," jawabku, sambil menepis suara hati kecilku yang ragu.
"Mau sampai kapan, Lis? Gak mungkin sampai tua di sini."