Terangnya Malam Seorang Lisa

Alexa Rd
Chapter #6

Mas Radit

Hampir dua tahun di Sentraloka, melayani ratusan pria, aku tak pernah merasakan sensasi jatuh cinta—hingga aku bertemu dengan Mas Radit. Anak Mami Seno, mucikari yang rumahnya di depan rumah Mami, baru saja pulang dari ibukota setelah diwisuda. Aku mengenal beberapa anak-anak mucikari, tapi tak ada yang seperti Mas Radit. Kebanyakan dari mereka justru menjadi sama seperti kami, para WTS, atau bersiap meneruskan usaha orang tuanya menjadi germo. Tapi ada juga yang masih bersekolah atau kuliah di luar kota, sengaja dijauhkan oleh orang tuanya agar tidak terpengaruh oleh dunia malam. Mas Radit adalah salah satunya.

Pertemuanku dengan Mas Radit terjadi saat kami sama-sama membeli sesuatu di toko Bu Karsinah. Entah apa yang membuatku bangun lebih pagi hari itu, lalu bergegas ke toko Bu Karsinah untuk membeli sampo. Saat itulah aku melihat Mas Radit sedang membeli pisau cukur. Tubuhnya tinggi tegap, rambutnya lebat dipotong rapi, dan disisir ke belakang. Di antara tumpukan barang dagangan Bu Karsinah, aku mencuri pandang.

Saat mata kami bertemu, Mas Radit tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya—beda sekali dengan pria-pria yang aku temui di sini. Mungkin itu yang membuatku langsung memiliki penilaian yang berbeda. Setelah kami sama-sama mendapatkan apa yang kami beli di toko Bu Karsinah, kami berjalan keluar bersama. Karena tujuan kami searah, entah disengaja atau tidak, aku dan Mas Radit berjalan beriringan. Dari situ aku tahu kalau dia adalah anak Mami Seno dan dia tahu aku adalah salah satu WTS di rumah Mami Tika. Sejak saat itu, aku juga tahu bahwa dia sering beraktivitas di pagi hari.

 

"Mas Radit…" panggilku saat Mas Radit keluar dari rumah Mami Seno, menuntun motornya. Badannya segar, pakaiannya rapi, dan tas besar tergantung di pundaknya.

"Eh, Lisa," sapanya. Beberapa hari lalu aku menyuruhnya memanggilku Lisa saja, tanpa ‘Mbak’, karena aku yakin dia lebih tua dariku.

"Mau ke mana, Mas?" Aku mendekatinya saat dia menghentikan motornya di luar rumah.

"Mau masukkan lamaran, Lis."

"Ke mana, Mas?" tanyaku lagi. Aku jarang merayu laki-laki, kecuali yang benar-benar aku inginkan.

"Ke kantor pos. Aku kirim banyak lamaran, kok," jawabnya sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya