"Sudah siang, Lis. Aku harus segera pulang. Pasti sudah banyak orang di luar," kata Mas Radit. Suara seraknya terdengar lembut, namun ada rasa cemas di dalamnya. Tangannya masih ada di belakang kepalaku, tubuhku masih melilitnya, enggan melepaskannya dari pelukan ini.
"Jam berapa sih?" Aku enggan melepasnya. Kamar yang tadinya hangat kini terasa dingin, mungkin karena aku tahu saat kebersamaan kami akan segera berakhir.
Kepalanya menoleh ke arah jam dinding di belakangku. "Sudah jam 11. Ibuku pasti sudah bangun." Nada suaranya berubah, sedikit lebih tegas, tanda dia harus pergi sekarang. Mas Radit menegakkan tubuhnya, memaksaku ikut duduk. Dia buru-buru memakai bajunya, dan dengan enggan aku pun ikut melakukannya.
“Apa ibumu betul-betul tidak akan merestui kita, Mas? Aku akan keluar dari sini kalau kita bisa menikah," tanyaku. Aku membayangkan kehidupan di luar Sentraloka, yang mungkin bisa kami jalani bersama.
"Jangan berharap, Lis. Yang ada, aku akan disuruhnya keluar kota. Kamu mau begitu?" Dia menoleh padaku sebentar lalu mulai memakai celananya. Aku menggeleng sambil menghela napas. Keheningan yang mengikutinya membuat dadaku terasa sesak, seperti ada dinding tak kasatmata di antara kami.
"Lagipula, aku belum mendapat pekerjaan. Mau makan apa kita kalau menikah?" Suara Mas Radit terdengar datar, seolah pertanyaan itu adalah jawaban mutlak bagi semua impian yang tak bisa kami capai. Dia mengambil sisir lalu merapikan rambutnya, memandang cermin kecil di nakas yang menampilkan wajah lelahnya setelah aktivitas panjang yang kami lakukan bersama.
Aku meraih laci di bawah nakas, menarik keluar dompet kecil berwarna merah hati yang sudah mulai lusuh. Ada beberapa lembar ratusan ribu dan lima puluhan ribu di dalamnya. Kuambil satu-satu, lalu kuulurkan uang 150.000 itu kepada Mas Radit. Udara di kamar terasa semakin berat.
"Ini, buat modal kamu cari kerja," kataku. Mas Radit memandang uang di tanganku. Dia tampak ragu, seperti ingin menolak, tapi akhirnya dia mengambil uang itu. Tangannya menyentuh jemariku sejenak sebelum akhirnya dia menyimpannya di saku celananya.
"Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja."
"Terima kasih, Lis. Aku pulang dulu." Aku mengangguk, lalu mendahuluinya untuk membuka pintu.
Saat aku membuka pintu, ada Mbak Desi di Lorong yang menghubungkan antara pintu-pintu kamar dengan ruang tamu. Aku berjalan keluar untuk melihat apakah tak ada orang di luar atau di halaman. Hanya ada Mbak Desi di lorong, dan orang lewat yang akan segera berlalu di luar rumah. Dari halaman, aku melihat rumah Mami Seno sudah terbuka pintunya, tapi tak ada orang di luar. Aku kembali ke dalam, lalu memberi isyarat pada Mas Radit untuk keluar. Dia menurutiku melangkah perlahan. Aku bisa melihatnya memberi senyum pada Mbak Desi saat melewatinya. Senyumnya terlihat gugup, tapi Mbak Desi membalasnya dengan datar, seolah sudah memahami apa yang sedang terjadi. Setelah dia berjalan di depan rumah, aku kembali masuk.
"Permainanmu berbahaya, Lis," kata Mbak Desi yang kini duduk di ruang tamu.
"Permainan apa, Mbak?" Aku ikut duduk di sebelahnya. Kusandarkan punggungku ke sofa tua yang ada di sana, serasa tenggelam dalam kainnya yang sudah usang.
Ruang tamu itu penuh dengan barang-barang yang sudah lama usang; meja kayu yang penuh goresan, kipas angin tua yang berputar pelan di sudut ruangan, dan gorden lusuh yang sedikit menutupi jendela.
Mbak Desi membuka kotak makeup-nya. Rupanya dia baru saja mandi. Wangi bedak dan sabun yang dia pakai melayang di udara, sedikit menyegarkan ruangan ini. "Kenapa harus Radit? Anaknya Mami Seno. Tetangga depan rumah. Terlalu dekat, Lis. Kamu tahu kan, Mami Seno galak. Semua orang tahu dia tak ingin anaknya kenal dengan wanita di sini, apalagi sampai berhubungan." Dia mulai menuangkan cairan bening ke atas kapas, lalu dengan hati-hati membersihkan sisa makeup dari wajahnya.
"Lisa sukanya cuma sama Mas Radit, Mbak," jawabku. Suara serak di tenggorokanku menyiratkan kebimbangan. Siapa lagi kalau bukan Mas Radit? Salah satu pria pelangganku? Tidak mungkin.
"Kamu cari masalah, Lis. Kalau Mami Seno sampai tahu, bukan cuma kamu yang kena. Mami juga pasti kena. Dia akan melarang kamu membawa Radit ke kamar." Mbak Desi menoleh ke arahku sebentar, menegaskan betapa berbahayanya apa yang telah aku lakukan. Matanya menatap tajam, mengingatkan bahwa ini bukan sekadar nasihat, tapi peringatan.