Di dalam ruangan milik Pangeran Gavin. Raja William membolak-balikkan buku catatan di depannya, “kau sudah memilah tugas yang belum selesai?”
Astra melangkah mendekat sembari membawa tiga buku kemudian meletakkannya di atas meja, “sudah saya siapkan semuanya.”
Yang Mulia William menutup buku yang dipegangnya kemudian menggantinya dengan buku dari Astra, “kau harus membantu Gavin di dalam kerajaan.”
Astra menggangguk, “baik, Yang Mulia. Lalu bagaimana dengan anda?”
“Aku memiliki penasehat, jadi jangan khawatirkan aku,” Yang Mulia William mengambil bolpen kemudian memberikan tanda pada buku catatan di depannya.
Astra hanya berdiri di sebelah kursi. Dia masih kepikiran dengan keberadaan Putri Olivia yang berhasil membuat amarah Pangeran Gavin. Bahkan atmosfer di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi menakutkan. Astra bahkan merinding hanya berada di dekatnya. Dia ingin tahu, siapa itu Putri Olivia dan kenapa pangeran begitu marah.
“Maaf, Yang Mulia. Boleh saya bertanya sesuatu?” Astra bertanya pelan, takut raja tidak suka ataupun tersinggung.
Yang Mulia William mengalihkan pandangan menatap Astra, “apa? Tanyakan saja.”
“Siapa Putri Olivia? Kenapa pangeran begitu marah?” tanya Astra, menanyakan hal yang mengganjal dipikirannya.
Yang Mulia William kembali menurunkan pandangannya menatap buku di depannya, “kau belum tahu? Jadi Gavin tidak memberitahumu, ya.”
Astra menggeleng, “Pangeran tidak pernah bercerita apapun tentang kehidupan pribadinya.”
“Begitu, ya. Kau sudah bekerja di sini berapa lama, Astra?” Yang Mulia William mendongak menatap Astra.
Astra diam sejenak, berpikir lantas menjawab, “sekitar 10 tahun.”
“Hm, begitu. Ini juga bukan rahasia, jadi akan kuberitahukan padamu. Dulu saat Gavin berumur 13 tahun, apa kau bisa menebak bagaimana sikapnya waktu itu?”
Astra menggelengkan kepala.
“Gavin diumur 13 tahun atau bahkan sejak umur 10 tahun, banyak orang yang takut terhadapnya. Dia tidak memiliki teman. Ketika semua menjauhinya, hanya satu orang yang sama sekali tidak takut padanya. Dia adalah Putri Olivia. Gavin bertemu dengannya ketika aku mengajaknya berkunjung ke Kerajaan Mandelein. Kala itu, Putri Olivia berumur 10 tahun ketika kami datang, dia sangat bersuka cita menyambut kami. Aku bahkan selalu begitu disenangi ketika ke sana. Bahkan Putri Olivia tidak takut pada Gavin yang selalu menatap siapapun dengan tatapan tajamnya. Putri Olivia selalu mengajak Gavin berbicara, terkadang mengajaknya bermain bersama. Sejak saat itu, Gavin mulai membuka dirinya pada Putri Olivia. Bahkan Gavin sering mengendari kudanya sendirian ke Kerajaan Mandelein hanya untuk bertemu Putri Olivia yang notabenenya tidak pernah keluar dari istananya sendiri. Dia mulai menganggap Kerajaan Mandelein sebagai rumah keduanya. Sudah jelas itu karena Putri Olivia, kan? Karena Putri Olivia-lah Gavin bisa seperti saat ini. Gavin menjadi pendengar dan pembicara yang baik, namun di sisi lain dia sangat menakutkan jika sedang marah,” Yang Mulia William tertawa pelan mengingat betapa lucunya Gavin yang marah-marah karena dilarang ke Kerajaan Mandelein dalam kondisi hujan deras.
“Jadi karena itu, Pangeran Gavin sangat acuh dengan putri kerajaan manapun?” Astra mulai memahami bagaimana perasaan Pangeran Gavin pada Putri Olivia.
“Begitulah. Kalian tadi dari Kerajaan Norn, kan? Pasti Gavin kesal pada Putri Sophia. Dari raut wajahnya sudah terlihat,” Yang Mulia William menebak apa yang terjadi di Kerajaan Norn.
Astra mengangguk membenarkan, “Pangeran sangat tidak menyukai Putri Sophia. Bahkan menjaga jarak dengannya.”
Yang Mulia William tertawa pelan, “sudah jelas, kan? Kalau Gavin lebih memilih Putri Olivia.”
Pukul enam sore, seorang pelayan masuk ke dalam kamar sembari membawa nampan berisikan makanan dan minuman untuk Putri Olivia. Sedangkan di dalam kamar, Pangeran Gavin masih senantiasa menemani Putri Olivia, sesekali mengajaknya berbicara.
“Waktunya makan. Makan yang banyak, ya,” Pangeran Gavin membantu Putri Olivia duduk bersandar di sandaran tempat tidur.
Pelayan menyerahkan semangkuk bubur pada Putri Olivia.