Hari-hari terlewati. Kintan sudah bisa menggoreng telur dan sosis. Ia juga sudah bisa memasak nasi menggunakan penanak nasi otomatis. Safal telah mengajarinya memasak makanan-makanan yang sederhana. Setiap pulang dari kantor, Safal akan memasak sayur dan membagikannya kepada Kintan.
“Apa yang sudah kamu lakukan hari ini?” tanya Safal saat makan malam bersama Kintan di teras rumah yang berimpitan itu.
Safal sengaja memasang satu meja bundar kecil dan beberapa kursi di sana. Setiap malam, mereka berdua makan sayur bersama. Khusus malam Minggu, mereka akan melakukan kemah-kemahan dan memasak bersama.
“Aku membersihkan seisi rumah,” sahut Kintan.
“Bagus sekali,” sahut Safal. “Besok, kalau aku sudah libur kerja, kita akan membersihkan rumput di depan rumahmu,” tambah Safal.
Kintan pun mengangguk. “Aku juga belajar membuat nasi goreng seperti yang Kakak ajarkan,” kata Kintan lagi. Ia belum banyak bercerita kepada Safal. Namun, ia sudah berani berbicara dan menatap mata Safal walau hanya sebentar.
“Wah, hebat sekali!” seru Safal senang.
Malam itu, Safal memasak sop sayap ayam.
“Ini adalah makanan kesukaanku. Dulu ibuku sering membuatnya untukku,” kata Kintan senang.
“Oh, ya?” sahut Safal ikut senang, Kintan mulai berani bercerita.
“Sekarang kamu kelas berapa?” tanya Safal.
“Aku baru akan lulus Sekolah Dasar,” sahut Kintan.
“Apakah hasil ujian sudah keluar?” tanya Safal lagi.
Kintan hanya menggeleng sedih karena ia tak tahu siapa yang akan menemaninya mengambil hasil ujian itu.
“Kapan hasilnya akan keluar?” tanya Safal.
“Mestinya pekan ini,” sahut Kintan menunduk.
“Bolehkah aku menemanimu mengambilnya?” tanya Safal kemudian.
Kintan pun mendongak, menatap Safal senang. Ia sangat beruntung karena ada orang yang dengan senang hati menawarkan diri untuk menemaninya. Kintan pun mengangguk.
Hari yang ditunggu tiba, Safal telah mengajukan permohonan izin tidak masuk kerja hari itu. Safal akan menemani Kintan mengambil hasil ujian di sekolahnya.
“Kamu datang dengan siapa, Kintan?” tanya seorang anak perempuan yang tampaknya adalah teman sekelas Kintan.
“Ini kakakku dari Daerah Selatan,” sahut Kintan tegas, berusaha melawan rasa takutnya. Ia takut akan diejek teman-temannya karena sekarang ia sudah menjadi yatim-piatu. Sebenarnya itu hanyalah prasangka yang tumbuh dalam benak Kintan sendiri.
“Nilai ujianmu lumayan bagus,” kata Safal setelah acara di sekolah itu selesai.
Kintan hanya menunduk diam. Mestinya ia senang. Namun, ia bersedih karena tidak ada orang tuanya yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Sebenarnya ia ingin sekali merayakan kelulusannya bersama orang tuanya, seperti yang dilakukan teman-temannya.
“Apakah kamu suka berkeliling kota menaiki sepeda motor?” tanya Safal mencoba menghibur Kintan. Itu adalah cara yang dahulu biasa ia lakukan dengan Rivi ketika sedang ngambek ataupun rewel.
Kintan mengangguk, sepertinya itu ide yang cukup bagus. Selepas dari sekolah Kintan, mereka berdua menyusuri jalan raya, melewati taman kota, berteriak-teriak saat melintasi fly over, lalu berakhir dengan es krim rasa vanila di sebuah kedai es krim. Vanila, adalah rasa kesukaan Rivi yang ternyata juga menjadi kesukaan Kintan.
Sebentar lagi petang hari. Safal membawa Kintan ke jembatan kampung sebelah. Di sana, mereka bisa melihat matahari terbenam di tengah sawah yang hijau. Pemandangan segar yang jarang di kota Daerah Barat. Sambil minum susu jahe, mereka menatap langit berwarna merah jingga. Kegiatan yang sering dilakukan Safal dahulu bersama Rivi.
Hari itu menjadi salah satu hari paling berkesan dan membahagiakan bagi Kintan. Setelah kepergian ibunya beberapa tahun lalu, harinya selalu terasa suram. Ia selalu muram. Dan hari itu menjadi hari bahagia pertamanya setelah melewati tahun-tahun yang gelap itu.
“Sebentar lagi Sekolah Menengah Pertama akan membuka pendaftaran siswa baru,” kata Safal memecah keheningan. “Kamu ingin sekolah di mana?” tanyanya kemudian.
Kintan hanya terdiam. Wajahnya yang semula ceria, kini kembali murung.
“Mungkin aku tidak akan bersekolah lagi,” sahut Kintan beberapa saat kemudian, putus asa. Bahkan untuk makan saja ia mendapatkan bantuan dari Safal. Orang tuanya tidak meninggalkan harta apa pun untuk biaya sekolahnya. Barang-barang berharga di rumahnya pun sudah dirampas oleh preman musuh bapaknya.
“Pilihlah tempat di mana kamu akan melanjutkan sekolah. Aku yang akan membayar biaya sekolahmu,” kata Safal kemudian.
Sontak, Kintan pun mendongak menatap Safal. Ia berpikir bahwa kebaikan Safal sudah terlalu berlebihan. Bahkan ia baru saja mengenalnya.
“Aku tidak bercanda,” kata Safal lagi. Ia bertekad ingin membiayai pendidikan Kintan sebagai ganti janjinya untuk membiayai pendidikan Rivi yang tidak bisa ia tepati.
Kintan masih menatap Safal. Matanya berkaca-kaca. Tidak percaya, haru, sekaligus bahagia.
“Terima kasih, Kak,” kata Kintan memeluk Safal.
Safal pun balas memeluk anak perempuan itu. Air matanya juga menetes. Saat memejamkan mata, yang ada di benaknya adalah Rivi. Adik tercintanya yang sudah tidak bisa ia peluk lagi selamanya.
***
Hari Minggu. Safal libur bekerja. Sesuai dengan janjinya, ia akan membersihkan rumput bersama Kintan di depan rumah.
“Kintan!” seru Safal memanggil di depan rumah. Ia sudah memakai kostum pekebun.
Kintan pun membuka pintu rumahnya.
“Ayo kita berkebun!” kata Safal bersemangat, membuat Kintan selalu ceria saat bersama Safal. Kintan pun mengangguk.
“Ambil pot-pot milikmu di gudang! Kita akan menanam sayuran!” seru Safal sambil mulai membabat rumput-rumput liar di depan rumah Kintan.
Kemarin, Safal sudah membeli biji sayuran. Pagi itu mereka akan menanamnya ke dalam pot setelah membersihkan rumput liar.
“Apakah kamu tidak lelah, Kintan?” tanya Safal sambil tiduran di lantai teras setelah selesai berkebun.
“Lelah,” sahut Kintan juga merebah di lantai teras, mengipas-ngipas tubuhnya dengan tangan. Cuaca siang itu cukup terik.
“Bagaimana kalau kita makan salad buah?” usul Safal menoleh.
Kintan pun mengangguk. Apa pun usulan Safal, selalu menarik baginya. Berdua, mereka berboncengan ke kafe tempat Safal bekerja. Itu adalah kali pertama Kintan datang ke sana.
“Salad buah dua,” kata Safal kepada pelayan yang hanya senyum-senyum, karena ia tahu bahwa sekarang Safal sedang berperan menjadi pelanggan.
“Hey, Safal!” panggil Awan menghampiri bangku tempat Safal dan Kintan duduk. Jam makan siang baru saja berakhir, sehingga kafe itu sudah tidak terlalu ramai.
“Ini siapa?” tanya Awan menatap Kintan yang baru pertama kali ia lihat.
“Adikku,” sahut Safal.
Mendengar itu, hati Kintan sangat senang. Ia sungguh telah menjadi adik perempuan bagi seorang Safal.