20 Desember 2013
Kata orang, Marcellio Adrian punya hidup yang sempurna.
Otaknya jenius, wajahnya menawan, jago di berbagai bidang, dan punya banyak teman. Ia nyaris tak pernah gagal dalam hal apapun. Baginya, segala urusannya mengalir apa adanya. Tanpa harus memaksakan diri, tanpa perlu jatuh bangun berusaha. Keberhasilan datang begitu saja, seperti hanya perlu menjentikkan jari, pencapaiannya akan langsung tertata rapi dengan sendirinya.
Sebenarnya Marcell memang tertarik pada banyak hal, ia mempelajari hampir segalanya, dia suka mengerti dan menguasai segala sesuatu yang baginya baru, tapi sayangnya dia tak pernah benar-benar punya ambisi. Tak pernah ada hal yang ingin ia capai, hal yang bisa sampai membuatnya rela tertatih-tatih demi mendapatkannya. Tak pernah ia berusaha hingga basah keringat atau terluka. Hidupnya santai. Semuanya terasa cukup, terasa aman, nyaris tanpa tantangan.
Tapi ada satu hal dalam hidupnya, yang tak bisa ditaruh di tempat yang sama dengan hal lainnya.
Sesuatu yang ia anggap paling, sesuatu yang bisa membuat dirinya yang pasif ini benar-benar ingin berusaha sekuat tenaga.
Windy Renata.
Gadis itu sahabatnya. Ia teman kecil, teman main, teman cerita. Teman berbagi tawa, air mata, bahkan diam lama tanpa berkata atau melakukan apa-apa. Mereka tumbuh bersama, sejak belum bisa berjalan hingga kini saling menapaki remaja.
Ia mengenal Windy luar dalam. Sudah sejiwa, sebatin. Ia tahu tiap nada tawa dan jenis tangisnya. Tahu semua kebiasaan-kebiasaan kecilnya. Seperti bagaimana Windy berhenti mengunyah saat merasa kelelahan di tengah makan, ketika matanya mendelik sinis padahal sedang menahan tangis, atau cara ia cekikikan geli saat berhasil mengadukan Willy, adiknya, kepada ayah mereka, lalu pura-pura tak tahu saat Willy dimarahi. Juga banyak hal-hal yang mungkin tak pernah dilihat oleh orang lain. Semua itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya.
Namun dibalik semua itu, sebenarnya ada satu rahasia yang Marcell simpan rapat-rapat.
Perasaannya ke Windy, bukanlah sekedar sahabat.
Tujuh belas tahun usianya, tapi entah sudah berapa lama Marcell akrab dengan perasaan cinta diam-diam. Perasaan yang hadir begitu saja, menetap tanpa aba-aba, mengakar ke seluruh aliran tubuhnya, terus tumbuh subur hingga kadang menyesakkan. Tapi juga menjadi salah satu alasan yang menghidupkan hari-harinya yang sepi.
Perasaan itu tak sanggup ia hempaskan, pun tak mampu disuarakan lantang. Cinta yang ia sembunyikan diam-diam itu, menghiasi hari-harinya dengan getar halus yang tak jarang terasa getir. Belakangan, getaran itu tak lagi menggoda, melainkan perlahan berubah menjadi luka yang tak terlihat oleh mata.
Sebelumnya, iya yakin ia mengenal Windy, ia berpikir tak ada satupun hal dari gadis itu yang luput dari pemahamannya. Ia yakin mengerti setiap tawa dan jenis tangisnya bahkan jika sambil menutup mata. Hanya perlu satu detik untuk tahu apa yang membuatnya marah, sedih, bahagia, dan resah.
Di matanya, Windy cukup transparan, dia tak pandai menutupi perasaan. Segala isi hati dan kepalanya kerap terpancar jelas di wajahnya. Marcell selalu tahu, meski seringnya Windy tak mengatakan apa-apa.
Namun dua tahun terakhir, keyakinan itu perlahan sirna. Ia mulai meragukan keyakinannya itu. Hari-harinya kemudian dipenuhi tanya: Apa jangan-jangan selama ini dia tak pernah benar-benar mengerti Windy, atau, keyakinannya itu hanya ilusi yang diciptakan otaknya sendiri?
Sekarang Windy terasa seperti orang yang berbeda. Bukan hanya dari penampilan, tapi dari sikap, tatapan, dan bahkan caranya diam. Ia menjelma dari gadis yang gampang dipahami menjadi persoalan yang tak bisa Marcell pecahkan. Tak peduli bagaimana ia hafal luar kepala segala rumus matematika, seberapa cepat dia mampu menaklukkan setiap soal logika, pertanyaan-pertanyaan yang Windy timbulkan di otaknya, tak kunjung menemukan jawaban. Gadis itu kini terlalu dingin untuk dipahami, terlalu asing untuk dikenali.
Ia memang tak pernah mengucapkan kebencian, tapi tindakannya seperti bayang-bayang dari kata-kata yang tak pernah terucap. Ia masih di sana, kadang tertawa, kadang menyapa, namun tak lagi dengan cara yang sama. Seolah jiwanya menjauh, menyisakan raganya untuk berpura-pura hadir. Sikapnya kini keras, ucapannya tajam, dan setiap kalimat yang meluncur terdengar seperti cara halus untuk menunjukkan, kalau kehadiran Marcell hanya gangguan yang ingin disingkirkan.
Sekarang dia ada di hadapan, berjalan beberapa langkah di depan, tapi seperti ada jarak tak kasat mata yang selalu dia bentangkan. Pelan-pelan, tak ketahuan, dan mendadak sudah seperti tembok tinggi yang tak mampu Marcell lewati.
“Windy!” panggil Marcell, dia tak menoleh.
Langkahnya justru semakin cepat, seperti tahu kalau Marcell akan membahas hal itu lagi, hal yang selama berminggu-minggu terus coba dia sampaikan, baik secara tersirat atau terang-terangan. Bentuk usahanya untuk membuat Windy mengubah keputusan.
Dua bulan lalu, tiba-tiba saja, Windy mengatakan bahwa ia akan kuliah di luar negeri.
Begitu mendadak, seperti keputusan itu jatuh begitu saja dari langit. Padahal, selama mereka saling mengenal, tak sekalipun ia pernah menyebutkannya, bahkan sekadar dalam bentuk angan-angan.
Tak ada tanda, tak ada isyarat.
Hanya satu kalimat yang perlahan mengoyak tenang yang selama ini Marcell genggam.
Marcell jelas langsung menunjukkan penolakan. Ia tak pernah berencana untuk berpisah dari Windy. Dan sayangnya tak juga bisa mengikuti kemana gadis itu pergi. Sekalipun di lubuk hati ia ingin melakukannya, ia tetap tak bisa. Ada janji yang pernah ia ucapkan, ada prinsip yang ia pegang teguh.
Ia pernah berikrar, tak akan pernah meninggalkan Jakarta. Tak akan menjadi pria yang melangkah terlalu jauh dari rumah. Bahkan jika diberi pilihan untuk pulang setiap akhir pekan, ia tetap menolak. Bukan karena tak ingin pergi, tapi karena hatinya terlalu terikat pada rumah yang dihuni ibunya seorang diri. Ia tak ingin menjadi bayang-bayang ayahnya, pria yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar kota, meninggalkan keluarga dalam sepi yang panjang.
Ia ingin tetap tinggal, menjadi seseorang yang tinggal, bukan yang ditunggu.
Dan seharusnya, Windy adalah orang yang paling mengerti soal itu. Dia tahu betapa pentingnya janji itu bagi Marcell, bukan sekadar prinsip, tapi bagian dari luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Maka ketika dia memilih pergi, tanpa diskusi, tanpa penjelasan, rasanya seperti pengkhianatan yang sunyi. Bukan dengan ledakan emosi, bukan pula karena ambisi, cuma keengganan yang dingin untuk peduli. Ia memilih menutup mata, meski jelas-jelas tahu Marcell tak akan pernah menyetujui keputusannya.
Sejak saat itu, Marcell frustasi, ia seperti benar-benar kehilangan kemampuan untuk memahami Windy. Gadis itu menjelma dari pribadi yang mudah dibaca, menjadi sangat sulit dipahami. Gelagatnya tak bisa ditebak. Ia menghindar bahkan saat tak dikejar, mengelak bahkan ketika Marcell sudah memilih untuk menjaga jarak.