10 September 2013
Marcell berjalan di belakangnya, seperti yang belakangan ini selalu ia lakukan. Entah sejak kapan posisi mereka mulai bertukar begini, Windy pun tak sadar. Tahu-tahu, setiap pulang sekolah, Marcell senantiasa mengikutinya dari jarak aman, cukup dekat untuk terasa kehadirannya, tapi cukup jauh agar tak mengganggu.
Tahun lalu, saat Windy memintanya untuk berhenti pulang bersama, Marcell sempat menganggapnya candaan. Saat itu, meski hubungan mereka terbilang sudah rumit, segalanya masih terasa jauh lebih ringan. Belum ada luka yang benar-benar membekas. Belum ada rahasia yang menggantung di antara mereka. Tawa masih ada. Dan perasaan yang diam-diam disembunyikan, masih sanggup untuk dibiarkan.
Tapi sekarang, Marcell menjaga jarak dengan sungguh-sungguh.
Dan Windy tahu, bukan hanya dirinya yang merasa seolah berjalan di atas cangkang telur, takut tergelincir, takut melukai, atau terluka. Ini bukan beban sepihak seperti yang mungkin Marcell pikirkan. Bukan pula sekadar rahasia hati yang terkunci karena tak berani diucapkan.
Ia sadar, sikapnya selama ini telah membuat Marcell bingung, gamang, dan serba salah. Dan ya, semua itu disengaja.
Berbulan-bulan lamanya, ia perlahan menjelma menjadi sosok yang dingin, keras kepala, menjauh dan membentengi diri. Kerumitan yang membelenggu hubungan mereka, memang sebagian besar adalah perbuatannya sendiri.
Sejak awal, hubungan antara Windy dan Marcell memang tak bisa disebut sekadar persahabatan biasa. Mereka telah bersama bahkan sejak sebelum dilahirkan. Donita—ibu Marcell—dan Melanie—ibu Windy—adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka kuliah di universitas yang sama, bekerja di kantor yang sama, dan menikah dalam waktu yang berdekatan. Seolah belum cukup berbagi perjalanan hidup, mereka juga membeli rumah di kompleks yang sama, hidup berdampingan, dan bahkan merencanakan kehamilan bersama. Windy dan Marcell lahir hanya berselang tiga bulan.
Sedekat itulah mereka. Sampai-sampai kadang Windy merasa lebih mengenal Marcell dibandingkan adik kandungnya sendiri, William, yang hanya terpaut dua tahun dan tumbuh besar dalam rumah yang sama.
Dulu, kedekatan dan kebersamaan itu tak pernah menjadi beban. Semua terasa alami, hangat, dan menyenangkan. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa berbagi cerita, keresahan, bahkan rahasia-rahasia kecil. Saling bergantung dan merasa tidak lengkap saat sendirian adalah hal yang biasa, bagian dari kebersamaan yang tak pernah dipertanyakan.
Namun segalanya mulai berubah sejak mereka masuk SMA yang sama
Kali pertama Windy menyadari kebersamaan mereka ternyata hanya biasa di mata mereka. Orang lain tak melihat dengan cara yang sama.
Windy terlahir dengan kulit coklat hangat, rambut ikal yang mengembang, serta hidung bertulang rendah dengan cuping lebar. Tinggi badannya tergolong rata-rata, tidak menonjol, tapi juga tidak menyembunyikan keberadaannya di dalam keramaian. Penampilannya tak pernah mencuri perhatian.
Sangat kontras dengan Marcell, yang berkulit putih bersih seputih susu, seolah tak pernah tersentuh panas matahari, bahkan setelah berjam-jam di luar ruangan. Saat kulitnya terbakar sinar UV, yang terjadi hanya kemerahan singkat yang hilang keesokan harinya. Matanya hitam kecoklatan, tampak semakin terang saat tersorot cahaya matahari. Bibirnya kemerahan alami, rambutnya hitam legam, dan tubuhnya tinggi menjulang. Secara fisik, Marcell memang tampak menawan, mungkin terlalu menawan.
Meski bagi Marcell sendiri, semua itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Ia lebih suka tampil maskulin: memotong rambutnya pendek dan rapi, mengenakan pakaian gelap, dan menghabiskan banyak waktu di luar ruangan. Tapi tetap saja, Windy tahu, jika suatu hari Marcell memakai rambut palsu dan sedikit berdandan, sebagai perempuan dirinya akan jauh kalah cantik.
Sebagai orang yang tumbuh di sebelahnya, Windy tak pernah benar-benar menyadari perubahan Marcell dari bocah cengeng menjadi sosok yang memesona. Di matanya, Marcell selalu sama: cowok yang suka merebut cokelat kesukaannya, yang selalu bisa membaca apa pun yang berusaha ia sembunyikan. Karena Marcell selalu ada di sana, berdiri di tempat yang sama, tak bergerak, tak pergi ke mana-mana.
Kehadirannya seringkali tak Windy hargai, meski dalam beberapa kesempatan, tetap ia syukuri.
Sayangnya, sejak SD mereka tak pernah bersekolah di tempat yang sama. Karena itu, Windy tak benar-benar tahu seberapa besar pengaruh kehadiran Marcell di mata orang lain. Baginya, Marcell hanyalah sahabat masa kecil, teman dekat yang ia kenal luar dalam, yang tak pernah membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Namun kenyataan berkata lain.
Cowok murah senyum yang selama ini ia anggap biasa saja, ternyata digilai banyak wanita. Windy sempat tertegun, nyaris tak percaya. Saat ia masih berjuang menyesuaikan diri di lingkungan SMA yang asing, Marcell sudah seperti kupu-kupu indah yang kehadirannya selalu dinanti. Ia melayang dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain, menarik perhatian siapa pun yang melihat, bahkan tanpa usaha. Seolah ke mana pun ia melangkah, dunia secara otomatis membentangkan panggung hanya untuknya.
Awalnya, Windy berpikir dirinya hanya bingung.
Ia menduga, lama-lama ia juga akan terbiasa dengan realitas yang tak pernah ia bayangkan ini. Tapi ternyata, perasaan selalu lebih cepat dari pikiran. Saat dorongan sekitar mulai membuatnya memandang Marcell dengan cara yang berbeda, saat itulah ia ditampar kenyataan: betapa kejamnya pandangan orang-orang terhadap kebersamaan mereka.
“Ngapain sih si jelek nyari perhatian mulu sama Marcell? Sok kecakepan jelek aja juga.”